1) Item tertentu secara konsisten muncul sebagai tanda bahaya, termasuk: Pemilih yang terpolarisasi.
2) Taruhan tinggi yang digambarkan oleh kedua pihak (dalam hal ini, Trump dan Joe Biden) sebagai eksistensial.
3) Maraknya ujaran kebencian dan misinformasi melalui media sosial dan media lainnya, termasuk media massa.
4) Ketegangan etno-sektarian atau rasial yang sudah ada sebelumnya. Antara lain, Black Lives Matter.
5) Tudingan saling menipu atau keinginan untuk menipu, antara kelompok berkompetisi. Plus kompor provokator.
6) Ketidakpercayaan terhadap lembaga penyelenggara pemungutan suara atau lembaga penyelesaian perselisihan.
7) Sumber informasi yang sangat terpisah dan tidak dapat dipercaya. Bertolak belakang.
8) Keberadaan aktor atau milisi non-negara bersenjata, dengan akses mudah membawa senjata.
9) Prospek margin pemilu yang sempit dari hasil perolehan suara yang diperebutkan.
10) Petahana yang melihat kepentingan hukum, dipertaruhkan dalam pelestarian atau hilangnya kekuasaan.
11) Kepemimpinan politik yang memicu perpecahan daripada meredakannya.
Itu di AS. Terbukti, disebutkan media massa sana, Pilpres 2020 paling rusuh dalam sejarah modern AS.
The Washington Post menyebutkan tingkat kerusuhan Pilpres 2020 dibandingkan Pilpres 1876. Kontestasi antara Samuel Tilden, Partai Demokrat, melawan Rutherford B. Hayes, Partai Republik.
Digambarkan, Pilpres 1876 membuat empat negara bagian mengirim daftar pemilih yang bersaing ke Electoral College, lembaga konstitusional pemilih presiden. Masih juga deadlock.
Akhirnya cair setelah Tilden setuju mengalah. Dengan imbalan kesepakatan yang menentukan untuk menarik pasukan federal keluar dari selatan. Juga, mengabaikan perlindungan budak yang baru saja dibebaskan.
Indonesia bukan AS. Walaupun sebelas indikator versi Crisis Group itu banyak yang mirip dengan kondisi Indonesia sekarang. Tanda-tanda bahaya.