MINYAK goreng sudah memadati rak-rak toko ritel dan pasar. Kelangkaan sudah berlalu. Tapi minyak goreng dalam kemasan itu kian melambung.
“Mengejutkan sekaligus membuat trenyuh, stok minyak goreng langsung memenuhi rak-rak supermarket. Tapi harganya mahal banget,” kata anggota Komisi III DPR RI Bambang Dwi Hartono (BDH) dalam sosialisasi Empat Pilar MPR RI di Surabaya kemarin (20/3). Bambang Heran. Mengapa minyak goreng dalam kemasan seakan lenyap saat pemerintah menetapkan harga eceran tertinggi (HET)?
Ada yang menjawab minyak goreng langka karena harga crude palm oil (CPO) atau minyak sawit mentah sedang meroket. Makanya produksi minyak goreng terimbas.
Bambang tidak percaya alasan itu. Pemerintah sudah punya data bahwa stok minyak goreng seharusnya cukup. Bahkan mencapai 720 ribu ton.
Minyak goreng banyak ditimbun. Kalau dijual saat bulan puasa harganya lebih menggiurkan. Kementerian Perdagangan (Kemendag) sudah meminta maaf. Negara kalah dengan mafia minyak goreng. Makanya HET dicabut sekalian. Biar pasar yang menentukan harganya.
Kementerian Perdagangan telah mencabut HET minyak goreng premium dalam kemasan sejak 16 Maret. Skema penentuan harga ditentukan oleh harga pasar. Tidak lagi dibatasi Rp 14 ribu per liter untuk kemasan premium atau Rp 13.500 untuk kemasan sederhana.
Bambang D.H. mempertanyakan jiwa nasionalisme para produsen dan distributor minyak goreng itu. Ribuan ibu-ibu mengantre minyak goreng murah di berbagai tempat. Sedangkan para pemegang rantai distribusi minyak goreng menahannya demi keuntungan. “Ayolah, ini negara kita, ini bangsa kita. Harusnya kita menyejahterakan rakyat, bukan kelompok tertentu,” pinta mantan Wali Kota Surabaya itu.
Harga minyak goreng dalam kemasan di Surabaya raya mencapai Rp 24-26 ribu per liter. Naiknya hampir dua kali lipat jika dibandingkan dengan harga normal. Sedangkan minyak goreng curah tanpa merek lebih murah Rp 5-7 ribu per liter.
Kenaikan CPO sering jadi alasan kenaikan dan kelangkaan minyak goreng. Namun sudah sepekan lebih harga CPO runtuh.
Puncak kenaikan CPO terjadi pada 9 Maret lalu. Saat itu harganya mencapai RM 7.074 (Rp 24,1 juta) per ton. Harganya konsisten turun sampai kemarin dan tembus di angka RM 5.629 (Rp 19,2 juta) per ton.
Apakah penurunan CPO bakal berdampak pada harga minyak goreng di Indonesia? “Bisa jadi,” kata Pakar Ekonomi Universitas Airlangga (Unair) Gigih Prihantono kemarin. Lalu kenapa harga minyak goreng saat ini sangat mahal?
“Ya, kan ada time lag. Kayak orang minum obat dokter. Masak sekarang minum obat, 1 menit bisa langsung sembuh,” lanjutnya.
Warga mengantre minyak goreng di salah satu penjual di kawasan Ngesong, Surabaya.(Foto: Julian Romadhon-Harian Disway)
Di sisi lain, Kementerian Perdagangan menaikkan pungutan ekspor (PE) dan bea keluar (BK) bagi eksportir CPO menjadi USD 675 per ton. Nilai itu cukup fantastis karena naik 80 persen. Yakni dari posisi sebelumnya USD 375 per ton saat harga CPO dunia di atas USD 1.500 per ton.
Misalnya, mengacu pada harga patokan CPO saat ini sebesar USD 1.432,24. Maka eksportir bakal dikenai beban lebih tinggi. Yakni maksimal USD 175 per ton untuk PE dan USD 200 per ton untuk BK.
Kebijakan tersebut muncul setelah dicabutnya aturan domestic market obligation (DMO) dan market price obligation (DPO) bahan baku minyak goreng. Tepat setelah HET minyak goreng kemasan tidak lagi berlaku.