ADA perubahan besar di tubuh Nahdlatul Ulama (NU). Organisasi sosial kemasyarakatan yang selama ini dikategorikan sebagai ormas Islam tradisional itu telah menunjukkan gestur baru, tradisi baru, dan tata kelola baru.
Perubahan itu terlihat setelah muktamar NU di Lampung memilih KH Yahya Cholil Staquf menjadi ketua umum PBNU. Geliat perubahan itu makin terlihat dalam rakernas dan pengukuhan pengurus lembaga/badan khusus PBNU di Cipasung, Tasikmalaya, pekan lalu.
Meski berlangsung di pondok pesantren yang berada di pelosok, kegiatannya sangat serius. Agenda rapat selalu dimulai tepat waktu. Ketika pembahasan belum selesai, rapat bisa berlanjut hingga tengah malam. Disiplin dan serius.
Jika biasanya rapat PBNU atau agenda besar NU diisi pembicara stakeholder strategis dari luar NU, kini tidak. Materi program kerja telah disiapkan dengan matang sehingga rapat itu tinggal pembahasan, pendalaman, dan penetapan.
Mengikuti rakernas PBNU kali ini tak ubahnya seperti mengikuti musrenbang yang diselenggarakan pemerintah. Terorganisasi dengan baik, materi disiapkan dengan matang, diikuti para pengurus baru dengan latar belakang dan penampilan yang beragam.
Ada dua pendekatan untuk melihat perubahan itu. Pertama, dengan melihat gaya dan tipe kepemimpinan Gus Staquf –panggilan akrab KH Yahya Cholil Staquf. Kedua, dengan melihat pergeseran basis sosial dan lingkungan warga nahdliyin.
Ketua umum PBNU yang menggantikan KH Said Aqil Siroj itu adalah bagian dari generasi baru NU yang tidak hanya mendapat sentuhan pendidikan pesantren. Ia juga memperoleh pendidikan umum yang tentu memengaruhi cara ia dalam memandang masalah dan cara memcahkannya.
Gus Staquf adalah cucu salah seorang pendiri NU KH Bisri Mustofa. Seperti Gus Dur (KH Abdurrahman Wahid), ia menjalani masa remajanya di Yogyakarta. Sambil mondok di Krapyak, ia mengambil pendidikan umum di SMA Negeri 1 Yogyakarta. Lalu, meneruskan studi sosiologi di Fisipol UGM.
Ketika Gus Dur menjadi presiden, ia salah satu juru bicaranya. Meski menjadi kader PKB, ia belum pernah menjadi pejabat politik karena keterlibatannya di partai. Gus Staquf sempat menjadi anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) Joko Widodo.
Pendidikan umumnya telah memperkaya pisau analisisnya tentang segala sesuatu. Juga, telah memperluas spektrum pergaulannya. Tidak terbatas di dunia pesantren. Tapi, juga lintas profesi, kelompok masyarakat, dan lintas golongan serta agama.
Apalagi, sejak 2013 ia secara intens membangun jaringan luar negerinya dengan mendirikan yayasan bersama pamannya, KH A. Mustofa Bisri, di Amerika Serikat (AS). Kiprahnya di luar negeri itulah yang mengantarkan ia bertemu dengan tokoh-tokoh dunia di AS dan Eropa.
Singkat kata, ia adalah sosok pemimpin baru NU yang berbasis pesantren, tapi memiliki pergaulan yang kosmopolit. Ia piawai berbicara kitab kuning dan segala referensi keagamaan, sekaligus cekatan menggunakan pisau analisis para ilmuwan Barat.
Persinggungannya dengan berbagai disiplin itulah yang memicu keresahan intelektual sekaligus tanggung jawab sosialnya terhadap dinamika masyarakat. Gagasan dan pikiran-pikirannya tentang NU dan dunia adalah akumulasi panjang dari keresahannya tersebut.
Secara kepemimpinan, ia sudah terlatih sejak mahasiswa. Ia mempunyai kemampuan naratif yang kuat, tajam dalam merumuskan masalah, dan bisa menyodorkan strategi dalam setiap gagasannya. Yang lebih penting lagi, ia punya kepercayaan diri (self confidence) yang tinggi.
Gaya kepemimpinan itulah yang ia kembangkan saat memimpin NU sekarang. Organisasi yang menurut riset Alvara, 50 persen muslim di Indonesia berafiliasi kepadanya. Ia memiliki gagasan besar tentang NU yang dinarasikan secara meyakinkan. Sekaligus ia siapkan strategi dalam mewujudkan gagasannya.