The governing NU, menghidupkan kembali Gus Dur, reaktualisasii NU sebagai pembangun peradaban, hanya sebagian contoh cara ia mengartikulasikan keresahan, gagasan, dan narasi strategis perjuangan yang hendak ditempuh. Semua itulah yang ditularkan sebagai spirit baru di NU.
Kehadiran Gus Staquf dengan gaya kepemimpinannya itu bersenyawa dengan perubahan basis sosial di tubuh NU. Demografi sosial-ekonomi NU kini tidak lagi didominasi kaum tradisional dan petani yang tinggal di pedesaan dan elite-elite pesantren.
Telah muncul kelas baru yang mulai booming sejak dua dekade terakhir. Mereka adalah generasi santri baru yang mendapatkan sentuhan pendidikan umum yang kemudian mendapatkan posisi strategis di dunia politik, akademis, dan korporasi.
Mereka mulai merangsek ke pusat-pusat strategis sebagai pengambil kebijakan. Juga, telah lahir para pengusaha baru NU yang tidak lagi ”malu-malu” mengaku sebagai warga nahdliyin. Reformasi politik dan akses pendidikan yang makin luas membuka jalan itu semua.
Hanya, generasi baru tersebut –kecuali para politikus– belum terakomodasi ke dalam struktur kelembagaan NU selama ini. Baru di bawah kepemimpinan Gus Staquf ini, kelas baru NU itu diakomodasi dalam kepengurusan.
Akomodasi terhadap kelas baru NU tersebut telah menghasilkan wajah baru, gestur baru, dan model tata kelola baru dalam kepemimpinan NU. Wajah-wajah baru dari kelas baru NU itu berserakan di kepengurusan lembaga dan badan khusus NU.
Dalam kepengurusan baru itu, banyak sekali profesor, doktor, pejabat politik, politikus, dan profesional. Mereka selama ini telah berkiprah di berbagai lembaga strategis di luar NU. Baik akademisi sekolah umum maupun para profesional di perbankan, korporasi, media, dan pengusaha.
Bahkan, Gus Staquf secara sadar ingin mengubah gestur tersebut dari hal yang mendasar. Misalnya, ia mentradisikan para pengurus tanfidziyah bercelana dan bersepatu dalam setiap acara resmi NU. Ia melarang personel di jajaran pelaksana itu mengenakan sarung. Hanya para pengurus syuriah yang terdiri atas para kiai yang bersarung.
Itu hal teknis yang dianggap penting. Baginya, tanfidziyah adalah pelayan syuriah. Tanfidiziyah adalah pekerja yang melaksanakan amanah muktamar dengan bimbingan para kiai di syuriah. Karena pekerja, gestur dalam berpakaian pun harus mencerminkan pekerja.
Tanfidziyah adalah struktur pelaksana dalam kepengurusan NU. Sedangkan syuriah adalah sebuah badan yang memberikan arah dan tujuan organisasi. Jika yang pertama adalah board of director (BOD), syuriah adalah board of commisioner (BOC).
Dalam pidatonya, ia menekankan pentingnya kerja nyata untuk jajaran pengurus. ”Kita tidak boleh berhenti pada kata-kata. Setiap kata harus menjadi kerja. Setiap kerja harus ada manfaatnya dan harus ada ukuran keberhasilannya,” katanya di awal rakernas PBNU di Cipasung, Tasikmalaya, pekan lalu.
Penempatan personel dari kelas baru NU itu tidak semata-mata akomodasi seperti laiknya terjadi di lembaga sosial kemasyarakatan. Tapi, mempertimbangkan meritokrasi dan kompetensi. Mereka melalui seleksi yang ketat dan dibuka ruang pergantian setiap saat.
Untuk kali pertama, di surat keputusan (SK) pengangkatan ada pasal khusus untuk evaluasi personel. Kalau dalam enam bulan setelah diangkat menjadi pengurus tak berkinerja baik, kepengurusan tersebut akan dievaluasi. Belum pernah ada SK PBNU seperti itu sebelumnya.
Rapat kerja PBNU pun seperti musrenbang di lembaga pemerintahan. Menjadi tempat menggodok rencana strategis, program aksi, tata kelola pelaksanaan, dan monitoring serta evaluasinya. Mengadopsi tata kerja modern yang terstruktur dan terukur.
Itu bisa terjadi karena makin banyak pemimpin NU yang memiliki kemampuan teknokratis. Mereka sudah terbiasa mengelola organisasi dengan perencanaan yang kuat, target capaian yang jelas, dan instrumen evaluasi dan monotoring yang terukur. Masing-masing memiliki KPI (key performance index) yang telah disepakati bersama.
Akankah perubahan gestur dan wajah kepengurusan NU itu membuahkan hasil? Bagaimana wajah NU ke depan dengan kepemimpinan seperti itu? Tentu masih perlu waktu untuk melihat hasilnya. Yang sudah pasti, menjadi tak relevan lagi membedakan Islam di Indonesia ke dalam kategori Islam tradisional dan Islam modern.