Pembangunan Jalan Raya Pos Anyer-Panarukan resmi dimulai Mei 1808. Proyek raksasa itu dikerjakan pada masa pemerintahan Herman Willem Daendels. Proyek itu dipimpin oleh Van Breeuchem. Pengerjaannya menggunakan sistem kerja paksa. Pekerja tidak dibayar. Bahkan, banyak yang meninggal dunia.
ADY Setyawan dan Hadi Saputro kembali menarik gas motor mereka. Melanjutkan perjalanan menyusuri Jalan Raya Pos. Berbagai tempat bersejarah mereka singgahi. Hingga, mereka berhenti di salah satu monumen. Cadas Pangeran.
Monumen itu berada di Jalan Cadas Pangeran, Kecamatan Pamulihan, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat. Ke arah selatan jika dari Bandung. Jaraknya hanya 35 kilometer. Memakan waktu satu jam. Dalam monumen itu digambarkan dua pria berdiri saling bersalaman.
Seorang berperawakan layaknya orang Eropa. Memakai topi tricorne yang punya tiga sudut itu. Juga berbusana militer lengkap dengan jubah dan pedang panjang di pinggang. Ia tampak menyodorkan tangan kanan. Patung itu adalah Herman Willem Daendels.
Lelaki di hadapannya, memakai ikat kepala khas Sunda. Ia menyambut dengan tangan kiri. Tangan kanannya memegang sebilah keris yang masih tersimpan dalam warangka (sarung keris yang terbuat dari kayu) di pinggang sebelah kiri. Seolah ingin mencabut keris tersebut.
Itulah Pangeran Kusumadinata XI. Bupati Sumedang era 1791-1828. Ia disebut juga Pangeran Kornel. Dalam sistem pemerintahan Belanda, bupati mendapat pangkat kolonel titular. Tetapi, istilah kolonel masih langka pada zaman itu. Sehingga mengalami perubahan fonem atau perubahan penyebutan dalam bahasa Sunda menjadi kornel.
Sehingga, Pangeran Kornel itu sendiri lebih terkenal di masyarakat. “Patung itu menggambarkan bahwa Pangeran Kornel menentang kesewenang-wenangan Daendels. Tindakan itu dikenal dengan nama Peristiwa Cadas Pangeran,” kata Ady.
Catatan Pramoedya Ananta Toer dalam Jalan Raya Pos, Jalan Daendels menunjukkan bahwa saat pembangunan jalan tiba di Sumedang, ada kesulitan besar. Medannya adalah tebing dan jurang.
Alhasil, pembangunan di lokasi jalan itu paling banyak makan korban. Tercatat sekitar 5 ribu orang yang meninggal. “Tidak dituliskan secara pasti jumlah korbannya berapa. Itu hanya taksiran yang dituliskan oleh Pram di bukunya,” ungkapnya.
BACA JUGA: Lebatnya Hutan Berganti Jadi Kemacetan
Tapi, Ady paling terkesan dengan masyarakat di Lasem, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah.
Daerah itu adalah wilayah awal pendaratan orang Tiongkok di tanah Jawa. Setelah terjadi peristiwa Geger Pacinan di Batavia pada 1740. Banyak imigran Tionghoa yang datang ke Lasem untuk mengungsi. Membuka perkampungan baru di sana. Atas persetujuan Adipati Lasem Tumenggung Widyaningrat (Oei Ing Kiat).
Banyak bangunan dibangun mirip dengan rumah-rumah di Tiongkok. Sehingga membuatnya dijuluki Tiongkok Kecil.
Motif batik Lasem yang menjadi pengingat tragedi kerja paksa pembangunan Jalan Raya Pos.-Ady Setyawan untuk Harian Disway-Masyarakat Lasem punya cara berbeda untuk menyimpan memori masa kelam kerja paksa. Mereka menuangkan dalam batik. Dengan motif watu pecah atau batu pecah.
Di Lasem dulunya banyak berdiri candi. Ketika pembangunan jalan di tempat itu, Daendels memerintahkan untuk warga mengambil batu dari candi tersebut. Lalu dipecahkan menjadi bebatuan kecil untuk pengerasan jalan. Karena tindakan itu, akhirnya tidak ada lagi candi yang berdiri di tempat itu.
“Kerja paksa kala itu meninggalkan trauma yang mendalam bagi warga setempat. Itulah mengapa mereka tuangkan dalam motif batik,” jelasnya.