Ada kampung wisata tematik di Kota Malang yang menarik untuk dikunjungi. Namanya Kampoeng Heritage Kajoetangan. Dalam suasana jadul, saya berkeliling untuk merasakan nostalgia tentang zaman dulu.
Kawasan kampung wisata dengan bangunan heritage berarsitektural belanda di Malang ini disebut juga Kampung Kayutangan. Begitu orang Malang menyebutnya.
Kampung ini punya ciri khas rumah-rumah yang berarsitektur kolonial Belanda. Bangunan rumah rata-rata dibangun dalam kurun waktu 1920-1950.
Letaknya tak jauh dari Alun-Alun Kota Malang. Kira-kira berjarak kurang lebih 600 meter. Dari sana saya berjalan ke arah utara menyusuri daerah Kayutangan yang ramah pejalan kaki. Sambil melihat suasana Kota Malang.
Dinding berlukiskan mural yang disukai para pengunjung untuk menandai diri telah berkunjung ke Kampoeng Heritage Kayutangan.
Tepat di gerbang gang, saya disambut spanduk bertuliskan Kampoeng Heritage Kajoetangan. Tempat itu dibuka setiap hari mulai pukul 08.00-18.00 WIB. Harga tiket masuk cuma Rp10 ribu.
Dari depan, kampung ini seperti kampung umumnya. Tapi setelah saya memasuki gerbang gang langsung terlihatlah perbedaannya. Yang paling terasa adalah kesan bahwa ternyata masih banyak rumah penduduk yang mempertahankan arsitektur kolonial Belanda.
Semakin kita masuk menyusuri setiap tikungan-tikungan kampung, ada banyak spot foto menarik. Di antaranya dilengkapi properti barang-barang lawas yang menambah kesan antik.
Selama berkeliling, semua pengunjung akan dimudahkan dengan papan petunjuk di setiap objek. Bahkan dilengkapi papan informasi yang menerangkan seluk beluk tentang bangunan tersebut.
Saya berjalan hingga ke tengah kampung yang dilintasi Sungai Sukun. Sepanjang jalan di pinggir sungai yang membelah kampung itu dipasang lampu taman yang menambah kesan estetis.
Meskipun merupakan pemukiman padat, namun Kampung Kayutangan ini sangat bersih. Warganya pun ramah kepada pengunjung. Saya berkali-kali disapa para penduduk yang berpapasan.
Rumah Jamu yang dibangun tahun ’1940an yang arsitektur kolonialnya terkesan sangat kental.
Pemberhentian pertama saya dimulai tepat di depan Rumah Jamu yang dibangun tahun ’1940an. Pada waktu itu, rumah tersebut digunakan untuk pengobatan tradisional Tiongkok yang dijalankan seorang shinshe.
Kesan arsitektur kolonial terdapat pada berbagai elemen mulai dari ventilasi, jendela, dan pintu. Sampai saat ini rumah tersebut masih menjual jamu tradisional.
Setelah itu saya menuju Rumah Ranuatmojo. Rumah bercat dinding berwarna putih polos tersebut dibangun tahun ’1930an. Di depan rumah ini tersedia kursi-kursi yang sangat pas sebagai spot foto.