Rancangan regulasi yang sedang digodok Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) untuk melakukan pelabelan Bisphenol-A atau BPA pada galon guna ulang -berbahan polikarbonat, atau jenis plastik yang pembuatannya menggunakan BPA- dinilai banyak pihak tidak tepat. Mengapa?
Dengan kebijakan itu, maka produsen galon jenis tersebut nantinya diwajibkan untuk mencantumkan label peringatan ”Berpontensi Mengandung BPA”. Itu terhitung tiga tahun sejak aturan itu nanti disahkan.
Atas kebijakan ini, beberapa pihak menilainya sebagai hal yang diskriminatif. Pasalnya, pada saat kondisi ekonomi masyarakat yang menurun akibat dihantam pandemi Covid-19, upaya yang ditempuh BPOM justru dapat menyumbang banyak persoalan.
Mulai mulai masalah lingkungan hingga membebani industri. Sebab air minum mineral saat ini sudah menjadi konsumsi publik. Bahkan telah bertahun-tahun masyarakat mengkonsumsi air minum kemasan, dan sejauh ini belum pernah terdengar ada keluhan kesehatan yang diakibatkannya.
Secara scientific, BPA yang ada dalam kemasan galon berbahan Polycarbonat (PC) belum menunjukkan tanda-tanda yang bisa membahayakan kesehatan tubuh manusia.
Selain itu, produk galon guna ulang juga sudah memiliki sertifikat Standar Nasional Indonesia (SNI). Sehingga artinya galon isi ulang berbahan polikarbonat itu sudah dijamin keamanannya untuk konsumen.
BPOM seharusnya juga membuat penelitian yang komprehensif dan tidak berdasarkan asumsi. Atau tidak menggunakan penelitian di luar negeri yang umumnya mengambil sampel botol bayi dan makanan kaleng untuk dijadikan landasan pengemabilan kebijakan pada galon guna ulang.
Sebab masing-masing produk punya karakter sendiri. Harus ada penelitian yang detail, misal kapan waktunya, sampelnya di mana, umur berapa, berapa lama melakukan penelitian. Juga apakah benar bahwa para pasien kanker itu karena BPA.
Kebijakan Tanpa Peer Review
Terkait kebijakan pelabelan pada gallon guna ulang yang dirasa diskriminatif itu dikuatkan oleh penuturan Direktur Salemba Institute (SI) Edi Homaidi. Ia menilai bahwa rencana tersebut penuh diskriminasi. Bahkan patut diduga bertendensi pada persaingan usaha yang akan menguntungkan segelintir pelaku usaha.
Menurutnya kebijakan diskriminatif tersebut bisa dilihat secara gamblang dari pernyataan Kepala BPOM Penny Lukito baru-baru ini. Penny menyebutkan bahwa depot air isi ulang dikecualikan dari wajib tempel warning BPA ini.
Artinya regulasi baru BPOM soal label peringatan BPA itu hanya menyasar sejumlah produk air kemasan dalam minuman (AMDK) berbahan polikarbonat yang memiliki izin edar.
Hal ini tentu mengundang tanya. Sebab jika memang BPOM menganggap BPA berbahaya buat kesehatan mengapa yang disasar hanya pelaku usaha tertentu? Mengapa bukan semua? Inilah wujud diskriminasi yang kasat mata.
Lebih lanjut ada pernyataan Kepala BPOM dalam Sarasehan Bahaya BPA yang digelar BPOM di Hotel Shangri-la Jakarta pada 7 Juni 2022 lalu, terdapat beberapa hal yang perlu dikaji.
Pada acara itu, Kepala BPOM menyatakan bahwa penelitian yang dilakukan terhadap BPA menunjukkan risiko bahaya kesehatan seperti infertility dan sebagainya walaupun belum jelas kausalitasnya.