OEI Hiem Hwie yang lahir 26 November 1938 itu masih sehat sekali. Ingatannya juga tetap sangat kuat. Kebiasaannya pun sama: membaca buku. Makanya, saat menceritakan sejarah Indonesia, terutama terkait Bung Karno dan Orba, mengalir begitu saja. Maklum, ia salah satu pelaku sejarahnya.
Oei sudah gemar mengoleksi buku sedari muda; sejak Indonesia belum merdeka. "Awalnya kakek saya yang memberikan buku-buku kepada saya. Dia bilang, 'Simpan ini. Nanti akan berguna. Tapi harus hati-hati. Karena banyak yang terlarang'," kenang Oei kepada Harian Disway beberapa waktu lalu.
BACA JUGA:Cheng Yu Pilihan dr Terawan Agus Putranto: Di Xing Mo Ming
Koleksi bacaannya kian menumpuk kian lama. Membuat Oei makin luas pengetahuannya. Sehingga, tatkala bergabung menjadi jurnalis Terompet Masyarakat, Oei langsung ditugaskan sebagai wartawan istana –pekerjaan yang kelak membuatnya sering bertemu Bung Karno. Sang proklamator bahkan sampai menghadiahinya jam tangan karena melihat Oei tidak memakainya.
Rezim terlalu cepat berganti. Kudeta 1965 mengubah hidup Oei seketika. Ia dituduh sebagai komunis, meski tidak pernah menjadi anggota partai berlambang palu arit. Aparat menangkapnya. Lalu menjebloskannya ke penjara, tanpa pernah diadili. Buku-bukunya dirampas. Untung jumlahnya terlalu banyak. Truk yang mengangkut tidak muat. Menjadikannya sempat menyembunyikan sisa-sisanya di plafon rumahnya di Malang.
Oei digiring dari satu bui ke bui lain, sebelum akhirnya dibawa ke Pulau Buru. Di sana, ia berjumpa dan berkawan dengan Pramoedya Ananta Toer. Naskah novel tetralogi Pulau Buru yang ditulis tangan oleh Pram di atas kertas semen, Oei-lah yang menyelamatkan. Tanpa Oei, kita mungkin tidak akan pernah membaca Bumi Manusia.
Setelah keluar dari belasan tahun ditahan di Pulau Buru, Oei lanjut berkutat dengan buku. Namun, hidupnya tidak lagi sama. Di KTP-nya ada capnya: ET (eks tapol). Ia tidak diterima kerja di mana-mana. Pernah pula dipaksa ganti nama. "Saya jawab tidak! Yang bisa mengganti nama saya hanya orang tua saya," tegas Oei.
Pada 2001, di Jl. Medayu Selatan Gang IV, Rungkut, ia mendirikan Perpustakaan Medayu Agung –agar koleksi buku-bukunya bisa dibaca khalayak lebih luas, khususnya generasi muda. "Jasmerah! Jangan sekali-kali melupakan sejarah," kata Oei, mengutip Bung Karno.
Begitulah Oei. Ia Soekarnois sejati. Teguh memegang prinsipnya sampai mati. Sebab, baginya, "人生自古谁无死,留取丹心照汗青" (rén shēng zì gǔ shuí wú sǐ, liú qǔ dān xīn zhào hàn qīng): dari zaman dahulu, tak ada orang yang tak mati; yang penting, matilah dengan tidak menyalahi hati nurani. (*)