”Autopsi klien kami (Brigadir Nopriansah Yosua Hutabarat) Rabu (27/7) pukul 10.00 WIB,” kata Komaruddin Simajuntak, pengacara keluarga Yosua, ke pers Minggu, 24 Juli 2022. Dilaksanakan tim ahli, termasuk dari tiga matra TNI.
PELIBATAN ahli forensik dari RS tiga matra TNI, atas permohonan kuasa hukum keluarga Yosua, sudah disetujui Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa. Andika kepada wartawan di Mako Kolinlamil, Jakarta Utara, Jumat (22/7) mengatakan: ”Saya pasti siap. Ini kan kemanusiaan. Apa saja. Tetapi, memang saya ingin memastikan detailnya, supaya apa? Supaya saya sendiri bisa mengawasi. Mengawasi objektivitas itu kan tidak mudah di lapangan.” Dilanjut: ”Saya harus pasti rumah sakit mana, tim dokternya pun kita pilih yang senior. Sehingga mereka bisa memberikan penilaian maupun, misalnya, sumbangsih dari segi keilmuan itu lebih maksimal.” Dilanjut: ”Dan yang lebih penting memang terkendali. Terkendali, dalam arti tidak ada intervensi sedikit pun. Sehingga mereka bisa memberikan opini yang benar-benar objektif.” Diperkirakan, RS TNI yang bakal dilibatkan: RSPAD Gatot Soebroto, RS Pusat AU dr Esnawan Antariksa, dan RSAL dr Mintohardjo. Pihak keluarga Yosua meminta satu lagi dilibatkan: RS Cipto Mangunkusumo. Sementara itu, ahli forensik dari Polri belum diumumkan pihak Polri. Mengapa perlu autopsi ulang? Komaruddin kepada pers menjelaskan, sejak awal pihak keluarga menolak hasil autopsi Polri. Sebab, pihak keluarga menilai, kematian Brigadir Yosua penuh kejanggalan. Komaruddin: ”Terbukti bahwa keluarga tidak dilibatkan dalam hal pembuatan visum et repertum maupun autopsi, kecuali hanya adiknya (Yosua) yang juga anggota Polri berdinas di Mabes Polri (kini sudah dipindah ke Polda Jambi), diperintahkan oleh Karo Provos untuk datang menghadap Karo Provos.” Dilanjut: ”Kemudian, ia (adik Yosua) diminta menandatangani surat-surat di RS Polri. Tapi, tidak bisa menemui atau melihat jenazah abangnya. Tapi, begitu ditandatangani surat itu, atas perintah Karo Provos, jenazah dikeluarkan dari satu ruangan, dan ternyata abangnya itu sudah selesai diberi pakaian dengan rapi, dimasukkan ke peti.” Dilanjut: ”Artinya, sebelum ditandatangani surat persetujuan keluarga itu, sudah dilaksanakan lebih dulu visum et repertum dan autopsi versi mereka.” Sengketa hukum seperti ini belum pernah terjadi. Apalagi, kasus ini internal Polri. Korban, tersangka, dan tempat kejadian perkara di lingkungan Polri. Tapi, perkembangan kasus sampai di titik ini. Jika benar, autopsi jenazah Yosua, Rabu, 27 Juli 2022, sudah 19 hari dari saat kematian, Jumat, 8 Juli 2022. Apa yang bisa dicapai dari hasil autopsi? Kelly Rothenberg dalam bukunya, The Autopsy Through History (Salem Press, 2008), menyebutkan bahwa autopsi sudah dilakukan manusia sejak lama. Berdasar catatan sejarah yang ditulis di buku itu, autopsi sudah dilakukan manusia sejak tahun 3000 sebelum Masehi. Atau sudah 5.000 tahun silam. Jadul banget. Oleh bangsa Mesir. Untuk praktik keagamaan mumifikasi. Autopsi waktu itu juga digunakan untuk menentukan penyebab kematian. Meski, pelaksanaannya saat itu ditentang masyarakat Mesir. Sebab, menurut pandangan masyarakat tersebut, tubuh orang mati dilarang dibuka-buka (bedah). Rothenberg dalam buku tersebut, menyebutkan, di Yunani dilakukan autopsi terhadap jenazah Erasistratus dan Herophilus di abad ke-3 sebelum Masehi. Otopsi di zaman kuno paling terkenal terhadap jenazah penguasa Romawi, Julius Caesar, pada 44 SM. Julius Caesar tewas akibat pembunuhan oleh senator saingannya. Hasil autopsinya menyebutkan, tubuh Julius Caesar dihujani 23 tusukan pisau. Oleh Brutus bersama 60 komplotannya. Lokasi di tempat terbuka, dalam pertemuan senat, 15 Maret tahun 44 SM, di Teater Pompey. Hasil autopsi, tusukan mematikan adalah yang kedua, mengenai jantung. Autopsi Julius Caesar, jika dipandang dari perspektif sekarang, terasa aneh. Mengapa diautopsi? Kan sudah jelas ditikam 23 kali? Tapi, Julius Caesar penguasa. Di kasus Yosua, yang sudah 19 hari meninggal, apakah bisa diketahui penyebab kematiannya? Untuk pertanyaan itu, meski terdengar bodoh, semua orang wajib menghormati hak hukum setiap orang. Dikutip dari National Geographic, 11 Maret 2021, bertajuk, DNA Study of 6.200 Year-old Massacre Victims Raises more Questions than Answers, disebutkan, ada jasad 41 manusia yang terkubur 6.200 tahun silam. Mereka tergali oleh tim arkeolog, dan disimpulkan, mereka dibunuh. Lokasi penemuan 41 mayat (fosil) itu di tempat yang sekarang bernama Kroasia Timur. Ditemukan fosil 41 orang, pria dan wanita serta anak-anak, pada galian arkeologi tahun 2007. Fosil-fosil itu lantas dianalisis (tidak bisa disebut autopsi karena bukan bedah mayat). Hasil analisis, mereka semua dibunuh. Sebab, di semua tulang tengkorak bagian belakang mereka ada bekas pukulan benda tumpul. Itu pembantaian. Keji. Tapi, tidak perlu diusut siapa pelakunya. Sebab, pelakunya pasti juga sudah jadi fosil. Yang disoal tim peneliti arkeologi: ”Mengapa mereka dibantai?” Pertanyaan itu dijawab Mario Novak, arkeolog di Institute for Anthropological Research di Zagreb, Kroasia, yang ikut meneliti fosil tersebut. Dengan jawaban, begini: ”Itulah pertanyaan sejuta dolar.” Maksudnya, kira-kira begini: ”Ngapain repot-repot ngurusin orang yang dibunuh ribuan tahun silam?” Walaupun kelihatan ”tidak penting”, artikel National Geographic itu menggambarkan bahwa: Jangankan jenazah yang 19 hari dikubur, bahkan 6.200 tahun pun bisa diketahui cara pembunuhannya.Sembilan belas hari adalah saat jenazah Yosua diautopsi nanti. Makamnya sudah dipasangi police line sejak Sabtu, 23 Juli 2022. Juga, dijaga ormas Pemuda Batak Bersatu atas permintaan keluarga. (*)