Didampingi para kurator serta mentor, lima koreografer terpilih tampil dalam Gelar Koreografer 2022 di Gedung Cak Durasim, UPT Taman Budaya Jawa Timur, kemarin. Dalam konsep karya yang dibawa, kelimanya unjuk potensi budaya dari daerah masing-masing.
Akhirnya Gebyar Koreografer 2022 bisa diadakan kembali tahun ini. Setelah vakum selama tiga tahun. Sebelum dipentaskan di depan publik pada 5-6 Agustus, kemarin lima koreografer itu hadir dalam pemaparan konsep karya sekaligus gladi bersih. Mereka adalah Yussi Ambar Sari, Sri Cicik Handayani, Patry Eka Prasetya, Errina Aprilyani dan Fahmida Yuga Pangestika.
Ketua UPT TBJT Samad Widodo turut menyaksikan. Ia didampingi kurator pementasan tari Peni Puspito, seniman tari dari Solo Agus Mbeendol dan owner Sawung Dance Sekar Alit. "Lewat Gelar Koreografer 2022 ini, Disbudpar dan UPT TBJT ingin menumbuhkan daya kreativitas dan inovasi karya para seniman tari Jawa Timur," ujar Samad.
Sebelum tampil, kelima koreografer yang terpilih dari berbagai daerah di Jawa Timur itu telah melalui seleksi ketat. Dimulai dari penjaringan dilakukan secara open call yang dibuka sejak 13-25 Juni 2022 dan diperpanjang hingga 29 Juli.
Ada 12 koreografer dari berbagai daerah di Jawa Timur yang mendaftar. Dari Pasuruan, Gresik, Jombang, Surabaya, Jember, Bangkalan, Sumenep, Kediri, Ponorogo dan Lumajang.
Hingga terpilihlah lima yang terbaik. Mereka inilah yang diminta menampilkan karya. Tentang diri, eksplorasi budaya tradisi, serta situasi sosial-masyarakat. "Usia mereka semua maksimal 35 tahun lho. Kami memang ingin menampilkan para koreografer muda di Jawa Timur," papar Samad.
Setelah lolos seleksi, kelima koreografer mengikuti pelatihan pemantapan karya oleh Peni Puspito dari ASETI DPD Jawa Timur serta Eko Supriyanto, dosen ISI Surakarta. Mereka mendapat pembekalan materi pengetahuan tentang koreografi dari Wiwik Sipala, dosen IKJ. Pembekalan melalui media sosial telah dilakukan pada 29-31 Juli.
Koreografer Surabaya Heri Lentho, turut mementori tentang artistik panggung dan tata cahaya. "Pementasan koreografi ini tak hanya menampilkan unsur ketubuhan. Tata panggung dan lighting perlu diperhatikan untuk menguatkan pesan yang dibawa oleh penampil," ujar Heri yang kemarin menilai dari bangku pengunjung.
Membawa karya berjudul Jalan Tengah Part of Tinta Hijau, Yussi mengekplorasi budaya nyethe yang eksis di Tulungagung, tempat tinggalnya. Nyethe biasa dilakukan para perokok dengan mengusapkan ampas kopi. "Dalam konteks yang lebih luas, karya koreografi saya memuat permasalahan gender. Perempuan yang singgah di warung kopi mendapat stigma buruk," ujarnya.
Namun Yussi tak hendak mengolah tema kesetaraan laki-laki dan perempuan atau upaya menyetarakan posisi keduanya. "Saya lebih mengangkat sebuah harapan, bahwa perempuan dan laki-laki harus saling peduli dan membutuhkan satu sama lain," terangnya.
Kondisi Sidoarjo dengan bencana lumpur Lapindo yang tak kunjung henti, menarik minat Patry untuk mengilustrasikan fenomena bencana tersebut, terkait dampak sosialnya terhadap kondisi sosial dan lingkungan. "Judul karya saya adalah Tanah Kenangan. Sebagai wujud pikiran kritis tentang kerusakan lingkungan di Sidoarjo, tempat tinggal saya," terangnya.
Pengalaman estetik yang terjadi dalam diri Errina, menginspirasinya untuk membuat karya berjudul Transit. Dia dulu dikenal sebagai penari tradisi. Kini, Errina menggeluti bidang entertain dance. "Maka dalam pementasan Transit, saya memadukan dua eksplorasi tari yang pernah saya pelajari. Yakni tradisi dan entertaint dance," tutur koreografer asli Surabaya itu.
Fahmida dari Ponorogo, terinspirasi dari tari jathil obyok dari daerah asalnya. Persepsi dalam masyarakat, tarian tersebut banyak dinilai secara negatif, terutama terkait kultur masyarakat yang dipengaruhi oleh jathil obyok dan tari jathil pada umumnya itu. "Tapi saya tidak menilai positif atau negatifnya. Melainkan sari-sari dari kesenian tersebut, berikut kesederhanaannya sebenarnya merupakan sebuah estetika yang indah," tutur koreografer tentang karyanya yang berjudul Sari Kembang.
Sri Cicik Handayani dari Sumenep berlatih serius dalam gladi resik. Dia mementaskan karyanya yang berjudul Tande. -JULIAN ROMADHON/HARIAN DISWAY-
Dari Sumenep, Cicik memaparkan karya berjudul Tande. Diadaptasi dari tradisi tande di Madura yakni pertunjukan tari yang mirip dengan kesenian tandak di Jawa. "Saya menampilkan ilustrasi tande Sumenep. Tande dalam tradisi kami selain sebagai nama pementasan. Kata yang identik sebagai panggilan penyanyi wanita. Dalam budaya Jawa biasa disebut sinden," ungkapnya.