Napak Tilas Jalur Kuno Gunung Pawitra, Festival Penanggungan 2022: Pemberhentian Pertama di Candi Naga (2)

Sabtu 20-08-2022,21:28 WIB
Reporter : Yusuf Dwi
Editor : Salman Muhiddin

Candi Naga berbentuk persegi panjang berteras tiga. Batu-batu andesit ditumpuk secara simetris. Makin ke tengah, makin tinggi. Di atas teras lantai 2 terdapat sisa-sisa bangunan pemujaan.

Peserta memandangi detail tumpukan batu andesit yang masih tertata rapi itu. Mereka juga mengabadikan momen dengan foto berlatar candi.

Terdapat ornamen kalamakara berwujud kepala kijang di bagian ujung candi. Kata Hadi, ornamen makara itu hilang dan yang tersisa hanya corak abstrak. Namun, hal itu masih bisa dilihat secara utuh di Candi Naga satunya, yang berbeda jalur.

”Kepala kijang di atas itu hilang. Jadi, kini berbentuk abstrak. Kalau untuk orang awam yang melihat ini seperti kepala naga. Mungkin itu yang pertama kali ditemukan peneliti dulu, tapi saya enggak tau ornamen itu di mana sekarang.” kata Hadi yang fasih berbahasa Indonesia itu.

Kepala naga memang memiliki tanduk seperti rusa. Sayang sekali benda bersejarah tersebut hilang. Kemungkinan dicuri.


Bagian ujung Candi Naga sudah hilang.-Yusuf Dwi/Harian Disway-

Dalam satu kesempatan, saya iseng menanyakan mengapa peneliti senior Inggris itu dapat nama Hadi Sidomulyo. Rupanya ia tak mau menjawab. ”Sudah, lupakan saja,” ujarnya, lantas tersenyum.

Hadi Sidomulyo berdiri di pelataran Candi Naga dan melanjutkan kuliah singkatnya. Ia menerangkan ke peserta bahwa tahun pembuatan candi tidak diketahui. ”Kalau di sini kosong, tak ada angka tahunnya.” ucap Hadi.

Biasanya, candi-candi yang dibuat akan tertulis tahun pembuatannya dengan menggunakan huruf atau angka kuno. Itu untuk menandai zaman dibuatnya candi tersebut. Meski tak ada bukti otentik, ia mengatakan, ada persamaan dengan candi-candi lain di dekat situ, mungkin sekitar tahun 14 Saka atau periode akhir kerajaan Majapahit.

Hampir setengah jam kami berada di Candi Naga. Terdengar samar-samar suara azan dari kejauhan. Sudah masuk waktu duhur.

Udah ya, waktunya kita melanjutkan perjalanan,” kata Kusworo, anggota tim ekspedisi Ubaya yang memandu rombongan kloter dua. 


Medan pendakian di kaki Gunung Penanggungan atau Pawitra dipenuhi semak belukar..-Yusuf Dwi/Harian Disway-

Para peserta kembali memungut carrier lalu meletakkannya ke punggung. Perjalanan masih panjang, jalur selanjutnya sudah menanti untuk kami tapaki. 

Jelajah situs Pawitra kembali berlanjut. Kami menembus jalan berumput. Lama-kelamaan Candi Naga tak terlihat. Selama perjalanan, saya membayangkan bagaimana wujud orang-orang yang mendiami kaki gunung setinggi 1.653 meter itu di era kerajaan. 

Mungkin satu di antara mereka adalah nenek moyang kami: para peserta pendakian. Misalnya benar, kami ingin menyapa mereka: Mbah, cucumu pulang. (Yusuf Dwi-Salman Muhiddin)

Cerita di Balik Candi Lurah dan Candi Carik. BACA edisi Senin!

Kategori :