Napak Tilas Jalur Kuno Gunung Pawitra, Festival Penanggungan 2022: Bermalam di Tengah Hujan Deras (4)

Rabu 24-08-2022,09:05 WIB
Reporter : Salman Muhiddin
Editor : Salman Muhiddin

Kesempatan istirahat itu saya gunakan dengan baik. Kaki dan punggung yang sudah remuk itu harus diistirahatkan. 

Gerimis datang lagi disertai kabut yang makin tebal. Setelah itu, saya tak tahu apa yang terjadi. Mata sudah terlelap, tubuh terbaring di antara barang-barang di dalam tenda. 

Setelah dua jam, saya terbangun oleh instruksi panitia dari pengeras suara. Jantung berdebar karena kaget. Punggung dan kaki terasa makin linu. 

”Ayo, semua peserta yang di dalam tenda segera bangun dan merapat ke depan Candi Guru. Jagong budaya segera dimulai!” teriak seorang pria yang sepertinya panitia. 

Tampaknya, Candi Guru sudah berubah gelap. Sekarang Kabupaten Mojokerto hanya terlihat lampu-lampu terang dari atas sana. Suhu pun makin dingin: 14 derajat Celsius.


SUASANA MALAM di depan Candi Guru, Arkeolog Goenawan Agung Sambodo berbincang dengan peserta pendakian jalur kuno.-Yusuf Dwi/Harian Disway-

Bermodal cahaya senter kecil, saya menuju pelataran candi dengan hati-hati. Para peserta ternyata sudah berkumpul dan duduk berdempetan di sana. Mereka akan diberi penjelasan seputar situs Gunung Pawitra oleh arkeolog jebolan Universitas Gadjah Mada (UGM), Gunawan Agung Sambodo.

Saya kira, hanya saya yang kedinginan karena hari-hari terbiasa dengan cuaca panas Surabaya. Tampaknya, peserta lainnya merasakan hal yang sama. Beberapa peserta yang tenggelam dengan jaket tebalnya masih menggigil. 

Jagong budaya pun dimulai pukul 20.00. Gunawan yang juga memakai jaket tebal duduk di hadapan puluhan peserta. Materi pertamanya: Mengapa orang zaman dahulu sering pergi ke gunung?

”Tempat suci bagi orang zaman dahulu itu sesuatu yang berada di atas atau gunung. Sebaliknya, daratan adalah dunia kekotoran,” katanya dengan lantang.

Setelah menyampaikan penjelasan, Gunawan memberikan kesempatan kepada 75 pendaki dari mapala itu untuk bertanya. Salah satunya Yusril, seorang mapala yang beralmamater sama dengan Gunawan: UGM.

Ia bertanya mengenai lebih tua mana Gunung Pawitra dan Gunung Lawu sebagai tempat yang sama-sama suci bagi penduduk sekitar gunung tersebut.

Gunawan pun menjawab dengan kembali menyinggung angka tahun yang ada di beberapa situs. ”Dilihat dari situs yang ada di Jolotundo itu sekitar tahun 899 Saka. Sementara di Lawu, ditemukan sengkalan tahunnya 1934. Jadi, bisa dibilang di tahun itu Pawitra sudah menjadi kosmopolitan,” terangnya.

Tak lama kemudian, hujan datang diawali dengan gerimis. Saya dan para pendaki lain masih tetap menyimak tiap penjelasan yang dituturkan pemateri. 

Saya makin bersyukur ikut pendakian itu, di sana begitu banyak hal baru yang saya ketahui. Apalagi, sedikit demi sedikit mengetahui jejak peninggalan leluhur Nusantara begitu sarat akan makna. 

Gerimis makin deras, Gunawan pun memberikan petuah terakhir dengan bahasa Latin untuk menutup acara tersebut. Kata itu diambil dari Cicero dalam karyanya yang berjudul De Oratore. Berbunyi, historia magistra vitae yang artinya sejarah adalah guru kehidupan.

Kategori :