BANJARMASIN, HARIAN DISWAY - ”...dalam kitab wayang Ramayana, disebutkan ada sebuah negeri yang damai sejahtera. Negeri itu disebut Negeri Utara Kuru. Di sana tidak ada panas yang terlalu, tidak ada dingin yang terlalu, tidak ada manis yang terlalu, tidak ada pahit yang terlalu. Semuanya tenang, tenteram, sejuk, adem, seperti disiram air sewindu lawase...”
Sepotong kalimat dari pidato Presiden Soekarno pada peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW tahun 1964 di atas cukup pas dan tepat untuk menggambarkan pandangan mengenai Borneo atau Kalimantan.
Tentu kita akan membayangkan alamnya yang subur, hijau, damai, dan sejahtera. Sebuah kawasan yang dianggap sebagai ”Paru-Paru Dunia.”
Dengan mengusung sebuah perhelatan seni rupa nasional bertajuk Bias Borneo di Taman Budaya Kalimantan Selatan (TBKS), 15-20 Agustus 2022, yang diselenggarakan oleh Ikatan Pelukis Kalimantan Selatan (IPKS), semakin lengkaplah keindahan Borneo.
Pameran berskala nasional yang bertepatan dengan Hari Jadi Provinsi Kalimantan Selatan ke-72 ini tentu digagas tidak sesederhana pandangan awam. Kalimantan Selatan, yang notabene bukan pusat perhatian seni rupa Indonesia, seolah-olah berada di luar peta, tentu saja menjadi tantangan tersendiri bagi IPKS ke depannya.
Dengan Bias Borneo, semua berharap pameran ini diharapkan tidak sekadar menjadi bias untuk memandang perkembangan kebudayaan di Tanah Borneo. Apalagi dalam perhelatan kali ini turut pula para seniman luar Kalimantan.
Bukan secara politis jika di atas saya mengutip pidato Bung Karno. Tetapi ada semangat dan pemikiran tentang kebudayaan yang dibangun oleh Presiden RI pertama kita itu.
Jasa-jasanya untuk seni rupa begitu besar. Hingga hari ini ada 6 ribu lebih koleksi karya seni rupa milik Bung Karno yang menjadi kekayaan negara yang bisa ditemui di Istana Bogor dan Istana Gedung Agung Yogyakarta.
Saat mendengar kata Borneo atau Kalimantan dan berbicara keseniannya, bahkan seni rupa, banyak yang menduga pasti tak lepas dari kultur dan tradisinya yang sangat kental. Kalimantan adalah Dayak. Ini yang selama ini ada dalam benak kita.
Dan pameran besar ini setidaknya akan membuka pemahaman baru akan kultur yang berkembang di Kalimantan pada hari ini yang tak beda jauh dengan kota-kota lain. Bahkan mungkin dunia.
Pertemuan kultur/budaya tradisi modern berkembang bersama-sama mengawal perkembangan dan peradaban manusianya.
Dalam peta sejarah seni rupa, Kalimantan Selatan bukanlah sesuatu yang baru. Di antara karya seni koleksi Bung Karno ada karya Gusti Sholihin -pelukis dari Banjarmasin- yang memiliki kontribusi penting dalam perkembangan seni rupa modern kita.
Beliau adalah salah seorang anggota Seniman Indonesia Muda (SIM) yang berdiri di Solo dan selanjutnya bermarkas di Yogyakarta (1947). Ia sekaligus salah seorang pelopor awal berdirinya Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI) atau sekarang ISI Yogyakarta.
Pada 1946 di Kota Banjarmasin pernah berdiri sanggar yang bernama Taman Lukisan Permai yang didirikan Gusti Sholihin. Inilah salah satu catatan penting dalam sejarah seni rupa Indonesia.
Seni bisa berfungsi untuk seni (‘le art pour ‘le art). Seni bisa pula untuk masyarakat (‘le art pour engage). Maka Bias Borneo merupakan medan pertemuan karya-karya seni rupa anak bangsa yang sejajar dalam satu garis Kulturistiwa. Satu garis penghubung, pengikat berbagai macam kultur dalam satu negara yang dilalui garis Khatulistiwa ini.