Sebagai gambaran, setiap 1.000 ayam petelur memerlukan 50 kg konsentrat, 70 kg jagung, dan 30 kg bekatul. Dengan harga konsentrat Rp 470 ribu per 50 kg, jagung Rp 4.500 per kg, dan bekatul Rp 6.000 per kg. Dengan produktivitas sekitar 85 persen, hasilnya 47–50 kg.
Tentu saja, bagi produsen, intervensi harga oleh pemerintah dengan melakukan operasi pasar telur itu bisa merugikan. Mereka tidak bisa menikmati surplus harga pada saat yang seharusnya, yaitu ketika suplai memang berkurang akibat banyak yang gulung tikar saat pandemi Covid-19.
Artinya, harga telur yang cukup tinggi saat ini bukan karena adanya distorsi di pasar. Namun, memang karena terbatasnya suplai dan meningkatnya demand setelah pulih dari pandemi.
Dalam soal telur, pemerintah memang tidak mengintervensi terlalu dalam terhadap harga. Sebab, pemerintah tidak membuat harga minimum (floor price) maupun harga batas atas (ceiling price). Floor price biasanya ditetapkan untuk melindungi produsen, sedangkan ceiling price untuk melindungi konsumen.
Meski demikian, operasi pasar itu menandakan bahwa pemerintah pro pada konsumen. Mungkin bukan semata untuk ”membela” konsumen agar bisa menjangkau sumber protein itu. Tapi, lebih pada khawatir terhadap dampak inflasi jika harga tidak dikendalikan.
Inflasi memang menjadi orientasi penting bagi pemerintah. Sebab, inflasi dipatok dalam APBN yang sudah disetujui bersama DPR. Selain itu, inflasi akan menggerus daya beli masyarakat yang bisa berdampak serius. Menurunkan kesejahteraan masyarakat dan meningkatkan kemiskinan.
Operasi pasar atau intervensi harga yang lain oleh pemerintah memang bisa saja sangat diperlukan. Yaitu, saat mekanisme harga tidak berjalan normal. Saat ada yang melakukan distorsi pasar. Bukan saat mekanisme pasar berjalan dengan baik dan harga murni dibentuk oleh keseimbangan supply and demand.
Di sisi lain, pemerintah seakan tidak peduli kepada produsen, yaitu para peternak. Saat harga pakan ternak mahal, apa yang dilakukan pemerintah? Ada memang. Mengintervensi harga jagung dan mendiskon pajak impor. Tapi, itu tak cukup efektif menurunkan harga pakan ternak utama, konsentrat. Yang dari hari ke hari terus naik.
Begitu juga saat harga telur jatuh. Sampai telur dibuang-buang saat berdemo. Yang harga pokok penjualan (HPP)-nya Rp 18 ribu per kg, tapi harga telur hanya Rp 13 ribu. Apa yang dilakukan pemerintah? Tidak ada yang signifikan dirasakan peternak. Sebenarnya, pemerintah bisa mengatur tata niaga telur dan pakan ternak dengan baik.
Juga, mengatur persaingan sehat di industri peternakan telur. Selama ini peternak telur kecil –UMKM– harus bersaing dengan konglomerasi industri peternakan. Itu karena produsen DOC (day old chicken) dan produsen pakan ternak juga beternak ayam petelur. Punya farm besar.
Mereka bersaing dengan peternak biasa. Tentu, mereka bisa menekan harga produksinya sendiri dan mengintervensi harga telur dan pakan. Menjadikan persaingan tidak sehat pada industri peternakan. (*)
*) Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Wakil Dekan Fakultas Teknologi Maju dan Multidisiplin Universitas Airlangga.