SURABAYA, HARIAN DISWAY- PEMBAHASAN Rancangan Undang-Undang (RUU) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) terus dilakukan. Masih alot walaupun bahasan itu sudah dilakukan sejak 59 tahun lalu. Melewati pergantian tujuh kali presiden, belum juga pernah mencapai titik temu.
Padahal, Wetboek van Strafrecht voor Nederlands-Indie di Belanda sudah mengalami 455 ubahan sejak diberlakukannya pada 1816. Padahal, KUHP yang berlaku di Indonesia adalah terjemahan dari Wetboek van Strafrecht voor Nederlands-Indie tersebut. Sejak 1830, diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu dan diberlakukan di negara jajahan Belanda. Termasuk Indonesia.
Itulah yang menyeruak dalam acara yang bertajuk Dialog Publik Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) yang digelar Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan. Digelar secara hybrid dengan menghadirkan tiga orang yang tergabung dalam tim perumus RKUHP. Yakni, Prof Pujiono, guru besar hukum pidana Universitas Diponegoro dan Universitas Negeri Sebelas Maret (UNS); Prof Topo Santoso, guru besar hukum pidana Universitas Indonesia; dan Yenti Ganarsih, dosen Universitas Trisakti dan ketua Masyarakat Hukum dan Pakar Ilmu Kriminologi Indonesia (MahuPIKI).
Kemenko Polhumkam M. Mahfud MD membuka acara tersebut dengan menyebutkan hukum harus mengikuti perkembangan masyarakat. Sebab, hukum adalah pelayan masyarakat. ”Perubahan perundang-undangan ini adalah amanah dari UUD 45. Tapi, hingga kini, kita masih belum menemukan titik tengah pada perubahan-perubahan tersebut,” terang Mahfud.
Banyak perdebatan dalam diskusi itu. Mulai pasal penghinaan presiden, aborsi, perzinaan, hingga tindak hukum pidana yang tidak selalu dipenjara. Ada beberapa opsi hukuman, termasuk kerja sosial. RKUHP juga memuat hukuman mati yang masih menjadi perdebatan antara mendukung dan menolak.
Pujiono menjelaskan, sebenarnya penghinaan kepada siapa pun adalah perbuatan tidak baik. Tidak ada satu pun budaya atau agama yang membolehkan seseorang menghina seseorang. ”Terlebih ini adalah presiden. Kita tidak bisa melepaskan sosok pribadi (misalnya, Joko Widodo) dengan posisinya sebagai presiden,” terang Pujiono.
Topo Santoso juga menegaskan perlunya perubahan KUHP itu karena selama ini ada beberapa terjemahan. ”Ada pasal yang diubah, dihilangkan, atau hukumannya diubah sendiri untuk menyesuaikan. Saya punya KUHP terjemahan beberapa orang. Padahal, selama ini KUHP belum pernah diubah,” tandasnya.
RKUHP itu juga mengatur tindak pidana yang tidak bisa dijerat hukum dengan pertimbangan tertentu. Contohnya, bawahan yang melaksanakan perintah pimpinan tanpa bisa menolak. Atau untuk orang dengan usia 75 tahun yang melakukan tindak pidana dengan ancaman hukuman maksimal lima tahun. ”Solusi-solusi ini akan menghindarkan lapas dari kelebihan kapasitas,” terang Yenti.
Tahun ini, diskusi publik akan digelar 22 kali di beberapa kota. (*)