BACHARUDDIN JUSUF HABIBIE memilih untuk tidak meneruskan proyek ikonnya. Ia tidak melanjutkan proyek pesawat IPTN (Industri Pesawat Terbang Nusantara) ketika mendapatkan kesempatan menjadi presiden.
Sebagai presiden, Habibie sebenarnya bisa saja melanjutkan proyek bergengsi di Bandung itu. Bisa saja, alasannya masuk proyek untuk masa depan bangsa. Atau dimasukkan ke proyek superstragis sehingga tetap berjalan walaupun krisis ekonomi.
IPTN dirintis dan eksis di tangan Habibie. Ia memiliki ilmunya. Memiliki jaringannya. Paham betul dengan industri itu. Habibie dan IPTN seperti mata uang dua sisi. Habibie adalah IPTN. IPTN adalah Habibie.
Saat memasuki krisis 1998, megaproyek itu masuk rekomendasi IMF (International Monetary Fund) untuk dihentikan. Dianggap berbiaya tinggi di tengah krisis. Soeharto yang juga lengser mengikuti saran tersebut.
Begitu naik, Habibie tak melakukan upaya untuk menyelamatkan IPTN. Ia memilih berjuang mengatasi inflasi yang meroket. Juga, melawan dolar Amerika Serikat (AS) yang liar hingga mencapai kurs Rp 16.800.
Habibie sukses membuat dolar AS bertekuk lutut di angka Rp 7.500. Sukses juga menyehatkan perbankan. Melakukan konsolidasi, termasuk lahirnya Bank Mandiri yang merupakan gabungan empat bank pelat merah (Bapindo, BDN, Bank Exim, dan Bank Bumi Daya).
Namun, ia tidak mau bersikap aji mumpung untuk membesarkan BUMN (badan usaha milik negara) strategis yang menjadi ikon dirinya. Padahal, kalau dilanjutkan, IPTN bisa menjadi legasi yang akan membuat namanya terkenang.
Setelah turun dari kursi presiden, dalam sebuah acara televisi, Habibie mengaku tidak marah, tetapi kecewa dengan penghentian IPTN. Kesepakatan IMF dengan Soeharto itu.
”Saya mulai proyek dengan 20 orang. Saat saya jadi Wapres, saya serahkan perusahaan strategis itu dengan 48 ribu karyawan dan turnover 10 miliar dolar,” ujar Habibie. Juga, menjelaskan sudah 80 persen FAA sertifikat. ”Sudah terbang, eh disuruh berhenti. Yang benar aja,” tuturnya.
Tapi, mengapa, saat menjadi presiden, tidak diteruskan? Habibie menjawab saat itu dirinya menghadapi inflasi tinggi. Nilai rupiah anjlok atas dolar. Orang antre, makanan kurang, PHK banyak, itu kan lebih penting daripada pesawat terbang. Jadi, ia mengalah untuk menang. Yang menang itu siapa? Ya, rakyat.
Habibie pun melepas momentum untuk mewujudkan warisan yang akan dikenang sepanjang hayat. Walaupun pada 2000, perusahaan itu menjadi PT DI (Dirgantara Indonesia) setelah destrukturisasi. Pasca-era Habibie.
Semua pemimpin sebenarnya ingin meninggalkan warisan yang akan mengabadikan namanya.
Soekarno pun begitu. Proyek yang identik dengan dirinya pun muncul. Yang paling ikonik tentu kompleks Senayan. Ada gedung kura-kura DPR dan Stadion Utama Senayan yang kini mengabadikan namanya: Stadion Gelora Bung Karno.
Sebagai seorang arsitek, Soekarno ikut memberikan sentuhan. Termasuk landmark Tugu Monas.
Tidak ada proyek besar di era Bung Karno karena ekonomi masih labil. Inflasi di era demokrasi terpimpin mencapai 600 persen. Keinginan membangun ibu kota di Palangka Raya, Kalimantan Tengah, sebatas wacana.