AUSTRIA, HARIAN DISWAY - Matahari pagi tampak mengintip dari jendela kamar. Hari itu, 17 Juli 2022, cuaca terang. Kami segera bersiap check out dari hotel di Praha. Tidak perlu ke meja resepsionis, kami hanya memasukkan kunci kamar ke dalam key drop box.
Negara tujuan kami setelah Jerman, Ceko, adalah rumah dari Pegunungan Alpen, Austria. Bus membawa kami ke salah satu kota tercantik di Austria, Salzburg. Kota kelahiran musisi Wolfgang Amadeus Mozart. "Oh Austria, kami datang," ujar saya dengan hati senang.
Belum sampai pun kami sudah disuguhi pemandangan yang cantik. Padang hijau luas, rumah perdesaan, dan hamparan gunung di kejauhan. Langit membiru. Pukul 2 siang kami sampai terminal. Dari sini, ada tram yang mengantar kami ke jantung kota. Tampak turis dari beragam bangsa. Satu keluarga dari India membawa koper-koper besar. Ada juga penumpang bersepeda.
Sekitar 30 menit, kami sampai di halte dekat hostel. Pas turun ada bangunan menarik. Mesdzid En-Nur. Oh, masjid. Kami masuk sebentar sebelum melanjutkan jalan kaki ke penginapan. "Nah itu sudah kelihatan, Wolfgang Hostel," kata suami menunjuk bangunan di seberang jalur tram.
Kamar kami punya banyak kasur. Sebab setiap menginap kami selalu menulis untuk dua dewasa dan dua anak. Pihak hotelnyalah yang memiilihkan tipe kamar sesuai ketersediaan. Sebagai informasi, Austria terkenal lebih mahal dibanding negeri jirannya. Akomodasi kami seharga 100 Euro per malam. Itu sudah paling murah.
Suasana gang Getreidegasse. Setiap bangunan memiliki plakat gantung. Plangnya berupa bendera, atau dari besi yang bertuliskan nama toko. Di sinilah pusatnya belanja dan makan-makan.
Sedikit melupakan bagaimana isi dompet, marilah menjelajahi Salzburg yang dikenal sebagai Salzburger Altstadt. Wah ramai. Maklum saat itu hari Minggu. Riuh, terutama di gang bernama Getreidegasse. Setiap bangunan memiliki plakat gantung. Plangnya berupa bendera, atau dari besi yang bertuliskan nama toko. Jalan ini pusatnya belanja dan makan-makan.
Saya lihat banyak yang ngopi, minum bir, atau snacking. Suara orang bercengkerama dengan ragam bahasa berbeda sangat fascinating. Pengunjuk duduk di depan meja kayu. Lokasinya langsung berada di samping jalan. Wah ini jebakan supaya mampir, hehehe.
Sementara itu, ujung jalan unik ini mengarah ke alun-alun kota. Serasa terlempar ke masa raja ratu, delman berkuda sering lewat. Sebuah air mancur besar dengan ornamen kuda menarik perhatian saya. Menawarkan oase di tengah teriknya Salzburg.
Panas-panas begini enak makan es krim. Kami menepi ke toko. Tampak yang antre banyak. Biasanya itu tanda makanan enak. Ternyata, mereka jualan frozen yoghurt. Bukan es krim. "Satu cup saja," kata suami kepada si penjual. Lihai sekali dia menuang satu cup yoghurt. Lalu disiram cokelat, kacang, blueberry, dan stroberi. Harganya 4,8 euro.
Kami duduk di depan Mozart Palace sambil menyuapi anak-anak. Setelah itu, suami mengisi botol minum dari pancuran air di sekitar alun-alun. Bekal sebelum mendaki ke tempat tujuan selanjutnya.
Saat mendaki gunung dengan hiking, kami lewat trek AM Monchsberg yang menanjak dan membikin ngos-ngosan. Tapi dua anak kami tak begitu. Mereka bisa naik dengan berlari.
Kali ini kami akan mendaki gunung. Dengan hiking. Lewat trek bernama AM Monchsberg. "Semangat nanjak sayang," ujar saya menyemangati suami. Trek menanjak bikin ngos-ngosan. Beda sekali dengan anak-anak. Kami yang mendaki pelan, mereka bisa berlari.
Di kanan kiri jalan, rumah penduduk berhias bunga. So beautiful. Saat hiking, kami mendengar lonceng berbunyi kencang. "Teng, teng, teng." Bel katedral berdentang kencang. Sudah pukul 6 sore.
Meski pendakian terjal, setimpal dengan pemandangan. Terkadang kami bertemu para pendaki lain. Tujuan kami sebagian besar sama, yaitu Hohensalzburg Fortress. Sebuah benteng abad pertengahan di ketinggian 500 meter. Benteng ini dulu digunakan sebagai tempat tinggal Uskup Agung Salzburg.
Hohensalzburg Fortress. Sebuah benteng abad pertengahan di ketinggian 500 meter. Benteng ini dulu digunakan sebagai tempat tinggal Uskup Agung Salzburg.
Setelah sampai di kaki benteng, kami turun. Kami ingin melihat stasiun kereta FestungsBahn yang mengantar pengunjung ke atas. Jadi, kita bisa memilih hiking atau naik funicular, kereta gunung yang kami naiki saat di Ceko? Harga tiketnya per orang dewasa 13,3 euro. Anak 7,6 euro. Tiket termasuk masuk area benteng. Kalau mau murah meriah kayak kami, jalan kali pilihannya.
Sampai di stasiun, saya merasa ada yang mengamati. Seorang perempuan memakai dress panjang dan jilbab warna senada. Hitam semua. "Dari Indonesia ya Mbak," ujarnya. Si penanya ini berasal dari Banjarmasin. Ia di Austria sedang bersama keluarga etnis Timur Tengah. Sepertinya ia tenaga kerja Indonesia. Kami bersalaman dengannya, berikut orang-orang dalam rombongannya. Di tanah orang seperti ini, senang sekali rasanya bisa bertemu warga tanah air.