Menariknya mereka berdua sama-sama dari ITS yang juga almamater saya.
Bu Risma Arsitek, Pak Hendro Teknik Sipil, sedangkan saya statistika. Di DPRD saya menjalankan fungsi legislasi, pengawasan dan anggaran. Soal pengawasan dan anggaran ini saya agak rewel.
Suatu ketika di rapat badan anggaran saya melayangkan kritik ke Pak Hendro sebagai ketua Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) Surabaya. Tugas tim itu adalah menyiapkan dan melaksanakan kebijakan kepala daerah dalam rangka penyusunan APBD.
Saya masih ingat itu tahun 2018. Banyak PNS kirim WhatsApp ke saya soal gaji ke-13. Semua daerah sudah cair kecuali Surabaya. Aneh sekali.
Informasinya Bu Wali belum berkenan mencairkan. Alasannya karena tidak ada anggaran. Saya sebagai anggota badan anggaran merasa punya tanggung jawab untuk menjelaskan dan mencari kebenaran apa benar Pemkot Surabaya sedang mengalami defisit anggaran?
Saya mengumpulkan sejumlah data laporan anggaran. Termasuk realisasi dana pendapatan daerah dan juga belanja daerah. Dari analisa data dan dokumen itu, dapat disimpulkan bahwa anggaran pemkot cukup untuk membayar hak ASN.
Katanya, ekonomi Surabaya masih belum stabil setelah serangan bom teroris. Saya cek, ternyata serangan teroris tidak banyak berpengaruh ke perekonomian Surabaya. Gaji ke-13 harus segera dicairkan.
Di rapat banggar saya menyampaikan kritik begitu keras untuk Pak Hendro. Pak Eri Cahyadi yang menjabat sebagai Kepala Bappeko duduk disebelahnya. Keduanya kompak menyampaikan alasan-alasan untuk memperkuat pernyataan wali kota. Namun menurut saya alasan Pak Hendro dan Pak Eri kala itu kurang tepat.
Sampai suatu ketika Pak Eri menggunakan bahasa Jawa Ngoko didepan Ketua DPRD Surabaya kala itu: Pak Armudji. Saya menegur Pak Eri karena kalimatnya tidak pas disampaikan di rapat resmi. Apalagi membahas sesuatu yang begitu krusial menyangkut nasib belasan ribu PNS.
Malam harinya, Pak Eri menelepon. Ia menanyakan mengapa saya sampai marah begitu serius di rapat itu. Dalam percakapan tersebut Pak Eri mencoba menerangkan situasinya.
Ia sangat membela Pak Hendro yang jadi atasannya. Intinya ia menerangkan bahwa Pak Hendro tidak salah. Dan Pak Eri sebagai anak buah begitu mendukung ketua TAPD. Singkat cerita, akhirnya masalah gaji ke-13 beres. Cair, meski agak diundur.
Ketika menjabat sebagai wali kota, Pak Eri masih mempercayakan jabatan sekda ke Pak Hendro. Ia masih butuh tangan dingin Hendro ketika Covid-19 memporak porandakan dunia. Cukup beresiko melakukan perubahan di awal masa jabatan.
Makanya ketika situasi sudah terkendali, Pak Hendro diberi kesempatan istirahat. Sudah terlalu banyak jasanya bagi Surabaya. Semoga penggantinya bisa teruskan kebaikan-kebaikan pak Hendro.
Di penghujung 2021 saya membuat rilis berita untuk mengapresiasi TAPD. Capaian pendapatan APBD bisa tembus 90 persen. Ini prestasi luar biasa di tengah pandemi. Penghasilan dari sektor pajak terkendala karena hotel sepi, pun demikian dengan restoran.
Jual beli properti yang menyumbang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BNPHTP) juga masih minim. Masyarakat masih sulit mencari uang. Banyak juga yang tak mampu bayar pajak bumi bangunan (PBB) karena kehilangan pekerjaan dan himpitan ekonomi.
Almarhum Ibnu Shobir, mantan rekan kami di Fraksi PKS Surabaya pernah bilang: tugas wali kota cuma dua: menggali potensi pendapatan daerah sebesar-besarnya dan membelanjakannya secara cerdas.