DALAM Alquran surah Sad (38) ayat 27, Tuhan menyatakan "tidak menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya dengan sia-sia." Persis yang dibilang filsuf Guang Zhong 管仲 dalam kitab Guanzi (管子), "各有所长" (gè yǒu suǒ cháng): semua mempunyai kegunaannya masing-masing.
M. Sholehuddin memercayai itu. Bahkan yang dianggap banyak orang bertolak belakang sekalipun. Agama, filsafat, dan sains, misalnya. Pakar hukum pidana dari Universitas Bhayangkara Surabaya itu yakin, "Dengan filsafat, hidup akan jadi lebih bijak. Dengan ilmu, hidup akan jadi lebih bermutu. Dengan agama, hidup akan jadi lebih bermakna. Dengan seni, hidup akan jadi lebih syahdu."
Berarti, antara satu dengan yang lain –yang sekalipun terlihat bertentangan– sebenarnya bisa saling melengkapi. Karena sama-sama memiliki kelebihan dan kekurangan sendiri-sendiri.
Ambil contoh sains. Tak ada yang menyangsikan sumbangsih sains yang amat sangat besar bagi kemajuan peradaban umat manusia. Namun, harus diakui pula banyaknya kerusakan yang ditimbulkan olehnya. Lingkungan hayati yang makin tercemar, zat-zat kimia yang meracuni makanan, senjata pemusnah massal, kesenjangan sosial akibat mekanisasi, dan seterusnya.
Agama dielu-elukan bisa menjadi remnya. Tapi, konflik yang mengatasnamakan agama tampaknya juga tak kalah mematikan ketimbang yang diakibatkan oleh penyalahgunaan ilmu pengetahuan.
Filsafat dan seni mungkin bisa menjadi harapan. Agar kehidupan tidak melulu berbicara kemodernan dan ketuhanan, melainkan juga kemanusiaan dan keindahan. (*)