Mahasiswa salah satu universitas swasta di pusat kota Surabaya membuat gerakan protes. Mereka menolak perkuliahan daring yang tetap dilanjutkan kampus ketika pandemi sudah mereda.
Saya mahasiswa semester 1 angkatan 2022 fakultas hukum di kampus itu. Saya juga ikut gerakan menolak kuliah daring, pekan lalu. Tepatnya, Rabu, 19 Oktober 2022. Pagi itu, salah satu profesor menjadi target aksi protes. Saat kuliah via zoom separo mahasiswanya tidak menyalakan kamera. Alias Offcam . Mereka kompak mengganti foto profil dengan gambar berlatar belakang hitam bertuliskan #tolakkelasonline berwarna merah. Anda sudah tahu apa simbol warna merah itu: perlawanan! Saya ikut pasang. Semua bermula saat nota dinas yang ditandatangani rektor 21 Juli 2022 menyebar ke mahasiswa. Judul di kop atasnya: Penyelenggaraan Pembelajaran di Masa Pandemi (Covid-19). Yang paling dipermasalahkan mahasiswa adalah poin ketiga: Perkuliahan dapat dilaksanakan secara tatap muka 100 persen dengan tetap menerapkan kesehatan dan/atau pembelajaran jarak jauh. BEM Fakultas bereaksi dengan mengajak para komting (komandan tingkat) untuk menggelar aksi. Komting adalah istilah ketua kelas di kampus kami. “Jangan lupa besok dipake ,” tulis salah satu teman di Whatsapp grup. Ia menyertakan gambar penolakan itu. Esoknya, kelas online dibuka sembilan menit lebih awal dari jadwal seharusnya: 07:30. Kurang lebih 40 mahasiswa telah bergabung di zoom . Hampir semua offcam . Semua sudah sesuai rencana kami. Namun, yang pasang foto profil #tolakkelasonline rupanya hanya separo. Tidak masalah, tidak ada paksaan untuk ikut protes. Sang profesor juga offcam . Kami penasaran dengan reaksinya. Tentu ia sadar bahwa kami memasang foto yang sama. Ia juga sudah menerima pesan protes dari kami. Anda mungkin sudah bisa menduga reaksi profesor kami: marah besar!!! Kami cuma bisa mendengar suaranya tanpa tahu ekspresi wajah beliau. Yang perlu dicatat, kami tentu sangat menghormati beliau. Tak ada masalah personal. Semua itu kami lakukan demi menyuarakan keresahan sebagian besar mahasiswa. Opini yang berkembang: Kami sudah membayar kuliah, mengapa proses pembelajarannya tidak full tatap muka? Nonton di bioskop saja sekarang sudah sangat bebas. Masak kuliah tetap daring? Profesor terdengar sangat kecewa dengan sikap yang kami tunjukkan. Saya bisa memaklumi hal tersebut. Mungkin ini belum pernah terjadi sebelumnya. Dan tentu banyak hal baru yang kita alami gara-gara pandemi. Beliau tidak mau mengajar. Kelas online dibatalkan. Beberapa teman ada yang khawatir. Apakah kami berlebihan? Atau tidak sopan? Masih mahasiswa baru (maba) sudah bikin ribut. Ada juga yang meyakinkan kami bahwa aksi protes harus dilanjutkan. Kampus perlu berdialog dengan mahasiswa. Pada kelas online selanjutnya, beberapa kawan kelas masih konsisten dengan perjuangan itu. Offcam dan tetap pakai foto profil yang menohok itu. Sebagian lainnya mundur dari aksi protes dan menyalakan kamera. Kami menghargai keputusan mereka yang tak ikut aksi. Saya melihat demokrasi benar-benar tumbuh di kelas dan kampus kami. Dosen yang mengajar kali ini sudah tahu aksi kami. Aksi pertama rupanya sudah jadi perbincangan di kalangan dosen. Kelas lainnya mungkin melakukan hal serupa. Di semua jurusan. Kali ini terjadi diskusi antara mahasiswa dengan dosen. Dosen menyampaikan bahwa permasalahan ini sebaiknya didiskusikan terlebih dahulu baik secara langsung maupun tidak langsung. Saya setuju sekali. Beliau juga berpesan kepada kami, adalah agar lebih berhati - hati ketika menjalankan aksi. Sebelum materi dimulai, dosen meminta kepada seluruh mahasiswa untuk mengganti foto profil mereka. “Kalau tetap memasang foto itu, sama saja kalian menyatakan tidak hadir dalam perkuliahan online ” ujar dosen pengajar mata kuliah Pengantar Ilmu Hukum itu. Saya merasa aksi kami memang kurang tepat. Ada baiknya hal seperti itu dikomunikasikan terlebih dahulu antar mahasiswa dengan dosen. Namun nasi sudah menjadi bubur. Namun bubur itu rupanya jadi energi untuk membuka ruang dialog lebih cepat. Jika direnungkan, kelas online adalah bentuk adaptasi manusia saat pandemi. Kuliah bisa tetap jalan meski pemerintah memberlakukan pembatasan secara ketat. Apakah anda masih ingat istilah PPKM atau PSBB? Istilahnya mungkin ingat, tapi kepanjangannya sudah tidak lagi. Maklum, pandemi terasa seperti sudah hilang di muka bumi ini. Semua orang menunggu sikap WHO yang belum menyatakan pandemi telah usai. Lantas, apakah kelas online bisa dilanjutkan dalam situasi sekarang? Saya berdiskusi dengan seorang teman. Kata dia, kelas online adalah peninggalan pandemi yang sangat sayang jika ditinggalkan begitu saja. Cara ini sangat membantu mahasiswa atau dosen yang rumahnya jauh dari kampus. Banyak mahasiswa dan dosen yang memiliki aktivitas di luar perkuliahan. Ada mahasiswa yang kuliah sambil kerja. Ada juga dosen yang memiliki project akademik di luar kegiatan mengajar. Ada juga dosen yang masih melanjutkan studinya. Bukankah kuliah online bisa mendorong produktivitas banyak orang? Tapi segala sesuatu ada dosisnya. Kalau kebanyakan tidak baik. Termasuk kuliah daring itu. Sudah jadi rahasia umum bahwa banyak yang merasa terlena dengan metode pengajaran yang sangat fleksibel itu. Pembelajaran daring jadi dua sisi mata pedang. Satu sisinya jadi manfaat bagi sebagian orang. Sisi lainnya, menjadikan mahasiswa terlena. Kami bisa kuliah sambil tiduran. Atau sampai ketiduran. Yang penting laptop dan internet tetap menyala. Dampak negatif lainnya adalah learning loss atau kehilangan kompetensi belajar siswa. Akhir 2021 Kemendikbud mengumumkan angkanya mencapai 20 persen. Artinya 2 dari 10 orang pelajar atau mahasiswa tidak mendapatkan ilmu yang seharusnya. Angkanya makin tinggi untuk jurusan teknik, kedokteran, keperawatan, dan jurusan lain yang butuh praktik langsung. Ada cerita dari seorang teman bahwa saudaranya yang kuliah keperawatan hanya bisa praktik menyuntik pakai manekin. Tak pernah menyuntik manusia betulan. Efek pandemi memang ngeri-ngeri sedap! Mungkin kekhawatiran itulah yang dirasakan teman-teman yang melayangkan aksi protes. Apalagi sebagian besar dari mereka adalah “angkatan Covid-19”. Dua tahun sebelumnya mereka sudah jenuh belajar daring dari rumah. Makanya, banyak yang minta kuliah tatap muka. Di sisi lain, pihak kampus tentu punya pertimbangan mengapa tetap melanjutkan kuliah daring. Polemik terjadi karena alasan itu tidak disampaikan ke kami: mahasiswa.Kisah Ayah, Anak, dan Seekor Keledai Saya jadi ingat tentang kisah ayah, anak dan seekor keledai. Saat perjalanan mereka mendapat berbagai macam komentar dari orang-orang yang ditemui. Orang pertama melihat ayah dan anak itu berjalan kaki dengan keledainya. Ia komentar begini: “Lihat mereka, rugi sekali. Punya keledai tetapi tidak ditunggangi. Malah jalan kaki,” kata orang pertama. Kali ini sang anak yang naik keledai. Ayahnya jalan kaki. Orang kedua yang melihat bilang begini: “Betapa durhakanya anak itu, ia membiarkan ayahnya jalan kaki,” kata orang kedua. “Nak, sekarang biarkan ayah yang berada di atas keledai dan kamu yang berjalan,” kata sang ayah. Dengan sedikit kebingungan, si anak pun mematuhi apa yang dikatakan oleh sang ayah. Ketika ditengah-tengah perjalanan, mereka pun bertemu dengan rombongan yang terdiri oleh beberapa orang, dan orang-orang itu pun berkata: “Sungguh terkutuk kau wahai sang ayah, kau biarkan anakmu kepanasan, dan kelelahan dalam perjalanan, sedangkan kamu enak-enakan di atas keledai, kau ayah yang sangat buruk,” kata orang-orang tersebut Perkataan orang-orang tersebut juga didengar oleh si anak. “Ayah, kenapa mereka berkata seperti itu terhadap kita?” tanya si anak lagi. “Mereka tidak mengerti tentang apa yang telah kita lakukan, oleh sebab itu, doakan kembali agar mereka mendapat petunjuk dalam hidupnya.” jawab sang ayah. Mereka pun kembali melakukan perjalan, dan kali ini sang ayah dan si anak yang berjalan. Kemudian mereka memanggul keledai itu. Sang anak bingung, tapi tetap patuh. Jadilah mereka berjalan dengan membawa keledai diatasnya, hingga bertemulah mereka dengan serombongan orang-orang. “Lihat, coba lihat disana, ada keluarga gila yang sedang melakukan perjalan dengan membawa keledai diatasnya, seharusnya mereka menggunakan keledai itu sebagai kendaraan untuk ditunggangi, bukannya keledai yang menunggangi mereka, semoga kalian sadar hai keluarga gila,” teriak orang-orang tersebut. Sang ayah dan anak itu tidak menghiraukan perkataan orang-orang tersebut. Mereka terus melanjutkan perjalan. Sang ayah kembali meminta anaknya agar mendoakan orang-orang tersebut supaya mendapatkan petunjuk di dalam kehidupan mereka. Setelah melakukan perjalanan cukup jauh dengan berbagai macam rintangan. Mereka berdua singgah dibawah pohon yang teduh. “Nak apa yang kamu dapat dalam perjalanan ini?” “Saya telah bertemu dengan banyak orang yang berkata tidak baik dan menghujat kita, Ayah,” kata si anak. “Ketahuilah anak ku, apa yang telah kita lakukan terhadap perjalanan tadi, itu semua hanyalah gambaran tentang kehidupan ini. Apa pun yang kita lakukan, baik atau buruk, benar atau salah, tetap orang-orang akan menghujat kita, entah itu didepan kita atau mungkin juga dibelakang kita,“ kata sang ayah. “Apabila kita melakukan hal yang buruk, maka orang-orang segera menyebarkan beritanya kepada orang lain, dan apabila hal yang kita lakukan benar, maka orang-orang akan berusaha mencari kesalahannya walaupun itu sekecil lubang jarum. Oleh sebab itu, kita jangan sekali-kali mengatakan apapun kekurangan orang lain terhadap dirinya, jika itu buruk baginya maka tutupilah, dan apabila itu benar, maka sampaikanlah walau itu pahit. Dan bersikaplah lebih arif serta bijaksana lagi dalam hidup ini,” Si anak pun menganggukkan kepala, tanda bahwa ia mengerti pelajaran yang telah disampaikan oleh sang ayah. Bagaimanapun komentar miring itu, mereka tetap sampai di rumah dengan selamat. Ringkasnya, kebijakan tidak mungkin membuat semua orang puas. Akan muncul polemik. Namun pelemik bisa diselesaikan dengan jalan dialog. Semoga ada jalan tengah untuk perkuliahan kami. Satu lagi, mohon maaf dari kami, Pak Profesor.
Surabaya 25 oktober 2022 Farhan Amri Mahasiswa Fakultas Hukum Semester 1 di Surabaya