SURABAYA, HARIAN DISWAY – Lantunan mantra itu terasa begitu magis. Hong wilaheng, hong wilaheng, hong wilaheng… Syair tersebut berpadu dengan langkah kaki perlahan yang menguarkan suara gemerincing dari gongseng (gelang kaki). Suara lain muncul, gemeretak kerikil yang diletakkan pada nampan.
Suasana aula Lt 6 Gedung Rektorat Universitas 17 Agustus 1945 (Untag) Surabaya, begitu hening, Senin, 31 Oktober 2022, itu. Lampu redup. Syahdu. Dalam suasana itulah, Miftakhul Sodikin (mahasiswa Fakultas Hukum Untag) dan Rayhan Munir (Fakultas Ekonomi) melangkah. Mereka menaburkan bebungaan pada lantai. Dua anggota Teater Kusuma Untag tersebut menuju pada panggung yang menjadi pusat ruangan bergaya amphiteater tersebut. Mantra-mantra masih terus berlanjut hingga mereka ada di panggung. Suara kerikil pada nampan semakin keras. Hingga akhirnya jatuh dan porak poranda. Itulah penggalan teatrikal Sumpah Pemuda yang bertajuk Indonesia Berkumandang. Aksi panggung itu disuguhkan oleh UKM Teater Kusuma dan peserta Pertukaran Mahasiswa Merdeka (PMM) di Untag Surabaya.Aksi panggung Miftakhul Sodikin (kiri) dan Rayhan Munir ketika memasuki aula.-Afdholul Arrozy-Harian Disway- Ya, semester ini, Untag Surabaya menerima 139 mahasiswa dari berbagai daerah. Mulai Sabang sampai Merauke. Mereka tidak hanya menjalani perkuliahan normal, tetapi juga belajar Modul Nusantara. Ini adalah rangkaian kegiatan yang harus dijalani selama satu semester. Mereka merasakan kegiatan kebinekaan, menggali inspirasi, menjalani refleksi, hingga melakukan kontribusi sosial. Acara pada Senin siang itu adalah sesi inspirasi. Kemasannya berupa talk show. Narasumber yang dihadirkan adalah Ketua Yayasan Perguruan 17 Agustus 1945 (YPTA) J. Subekti. Dalam pemaparannya, Subekti menceritakan kisah sejarah Sumpah Pemuda. Tetapi, pria berusia 76 tahun itu tetap mengemasnya dengan kondisi yang dirasakan kaum muda saat ini. Materinya tetap relevan dengan zaman. Menurutnya, ada tiga tantangan yang dihadapi anak muda zaman now. Yakni, disrupsi digital dan teknologi, kelangkaan sumber daya, dan hedonisme. ’’Hedonisme itu seperti arak yang memabukkan. Hidup serba wah, serba instan, tidak perlu fisik. Itu hanya akan membahayakan Anda,’’ tutur mantan alumnus Untag Surabaya angkatan kedua tersebut. Subekti juga berharap mahasiswa terus meningkatkan literasi digital. Terus belajar tentang Indonesia melalui kanal-kanal media. ’’Agar kita kembali jatuh cinta dan terus jatuh cinta dengan Indonesia,’’ katanya.
Ketua Yayasan Perguruan 17 Agustus 1945 J. Subekti (kanan) berbicara di depan audiens.-Afdholul Arrozy-Harian Disway- Itu selaras dengan ungkapan Rektor Untag Surabaya Prof Dr Mulyanto Nugroho MM ketika membuka acara tersebut. ’’Jangan tinggalkan nasionalisme. Jangan gaptek. Siapa yang menguasai teknologi, merekalah yang akan maju,’’ tuturnya.
Rektor Universitas 17 Agustus 1945 Prof Dr Mulyanto Nugroho MM membuka acara.-Afdholul Arrozy-Harian Disway- Acara siang itu menjadi istimewa karena mahasiswa PMM tidak hanya menjadi audiens. Ada tujuh mahasiswa yang dilibatkan dalam pentas teater tersebut. Terlebih, mahasiswa PMM itu ditampilkan dalam kemasan yang mengejutkan. Muncul dari penonton lalu nyambung dengan penampilan Teater Kusuma. Naskah Indonesia Berkumandang digarap oleh Yulian Ibra. Mahasiswa Prodi Ilmu Komunikasi Untag itu menyadur kumpulan puisi karya W.S. Rendra, Taufik Ismail, dan Oki Tama. Pentas itu sendiri disutradarai oleh Oki Tama. Yang asyik, pentas itu hanya digarap dalam tiga hari. Mahasiwa PMM dan Teater Kusuma pun tidak pernah berlatih bersama. Mereka hanya ’’latihan bareng’’ melalui grup WhatsApp. Namun, pentas itu sukses. Juga mengharukan. Terlebih saat para mahasiswa PMM berdialog, berkeluh kesah, curhat tentang dunia yang makin mbencekno. Penuh intrik politik, kegaduhan yang tidak perlu, sampai adu domba antar pemeluk agama. “Bangsa rapuh! Aihhh… Tempat ibadah dibakar. Suku-suku saling adu kuat. Aihhh.., jangan sampai. Kita bakumpul, jo. Kita bangun persaudaraan. Rekatkan!” seru Alprianiwati, mahasiswi dari Sulawesi. Dialog para mahasiswa itu memang dikemas dengan dialek mereka masing-masing. Misalnya ada Muh. Reza (Kalimantan), Hasan Ashari (NTB), Ni Kadek Nita (Bali), Regina Wongso (NTT), Maria (Papua), dan Lestari Rebeca (Sumatera). Mereka pun tampil dengan mengenakan hiasan kepala ala suku masing-masing. Sungguh menggambarkan keragaman Nusantara.
Mahasiswa PMM bersama dosen dan mentor berfoto bersama.-Afdholul Arrozy-Harian Disway- Di akhir pertunjukan, mereka mengajak seluruh audiens, baik mahasiswa, mentor, hingga dosen, untuk mengikrarkan sumpah pemuda. Keharuan pun merebak. Beberapa mahasiswa menangis. Terutama, karena mereka sudah separo jalan menempuh program pertukaran ini. Bagaimana pun, mereka akan pulang ke kampung halaman masing-masing dengan membawa sesuatu. Selaras dengan spirit PMM: bertukar sementara, bermakna selamanya… (Fryda Arista)