Itu dipublikasi Unicef, 4 Juli 2021. Judulnya, Water, sanitation and hygiene. Walaupun, data Unicef belum tentu valid. Mana bisa tahu mereka, bahwa keluarga Cak Parman di Banyuurip Lor Gang Buntu, Surabaya, ternyata punya jamban. Cuma, disebutnya jumbleng.
Merujuk data Unicef tersebut, di India pada tahun yang sama. Jumlah penduduk 1.352.642.280. Besaran warga tanpa jamban 1,4 persen atau sekitar 19 juta orang.
Tapi, sebaiknya jangan disaing-saingkan. Kita dengan India. Ya... mesti kalah.
Berarti, kompetitor kita adalah negara-negara Afrika. Di sana paling ekstrem di Distrik Kibera, Kota Nairobi, Kenya.
Richard Davies dalam bukunya, Kibera: Home of the Flying Toilet (2008), mengungkap sanitasi yang parah di Kibera. Sampai, di bukunya itu ia membuat istilah sendiri: ”flying toilets” di sana.
Davies orang Inggris yang tinggal di Kenya. Ia lulusan psikologi filsafat Oxford University, Inggris. Kemudian, studi di Fakultas Kedokteran, Queen’s University of Belfast, lulus 1988. Di Kenya ia pakar kesehatan masyarakat.
Di Nairobi, jumlah penduduk sekitar 3 juta jiwa. Di buku itu disebutkan, berdasar data resmi pemerintah setempat, sekitar 99 persen penduduk punya jamban. Tapi, Davies yang sudah 21 tahun tinggal di Kenya punya catatan beda.
Davies di bukunya, mengatakan: ”Dua dari tiga orang di Kibera sehari-hari pelaku toilet terbang. Sebagai cara utama pembuangan kotoran yang tersedia bagi mereka.”
Toilet terbang berarti warga yang tidak punya jamban bisa BAB di mana saja. Asalkan, output diwadahi kantong plastik. Setelah selesai, kantong plastik diikat. Lalu dilempar ke kali. Bagi yang kurang ajar, bisa dilempar ke pinggir jalan.
Buku Davies diterbitkan 2008. Mungkin sudah kuno. Mungkin saja Kibera sudah tidak begitu lagi sekarang.
Dikutip dari Aljazeera, 3 April 2017, bertajuk How to deal with Kibera’s flying toilets?, hasil liputan wartawan Aljazeera. Ternyata tidak beda dengan tulisan Davies.
Diulas di situ, wartawan Aljazeera melakukan liputan deskripsi situasi di Nairobi. Ia didampingi pemandu setempat, bernama Abdul Abdallah.
Sebelum mereka jalan, keliling Nairobi, yang bisa berarti sampai di Kibera, Abdul menasihati reporter, begini: ”Hati-hati... Jangan menginjak kantong plastik atau kertas apa pun yang Anda lihat di jalan.”
”Plastik, maksudmu bagaimana? Bentuknya seperti apa?”
”Kantong plastik tertutup, begitu. Atau kantong kertas.”
”Memangnya kenapa?”