Kebijakan hanya diambil petinggi negara di Jakarta. ”Seharusnya namanya otonomi khusus, kan semua kebijakan itu diberikan ke masyarakat daerah. Tapi, ini tidak. Kami tidak bisa memberikan pendapat apa pun,” tegasnya.
Majelis Rakyat Papua (MRP) yang terbentuk atas dasar otonomi khusus juga tidak bisa memberikan pendapat. Setiap kali memberikan pendapat keras, pendapat mereka akan dibasmi.
”Sudah pasti akan diberedel. Kita mau berikan pendapat, dari rumah sudah didatangi Brimob. MRP mau keras, langsung diculik,” ucapnya. Pun, pemerintah pusat tidak menyentuh hal penting yang dibutuhkan masyarakat setempat. Misalnya, kesehatan, ekonomi, dan pendidikan.
Kebijakan yang terkait kekayaan alam saja sudah dikuasai pemerintah pusat. Karena itu, masyarakat lokal tidak mendapatkan apa pun. Hanya bisa berjualan sayur di pasar. Itu juga tidak menggunakan meja.
MRP yang memberikan masukan untuk kepentingan masyarakat Papua tidak akan diterima. Tapi, ketika masukan itu untuk kepentingan orang-orang di Jakarta, pasti itu semua akan diterima dengan baik.
”Sudah ada plotnya. Hutan ini untuk pejabat A. Hutan lainnya punya pejabat B. Kita tidak dapat apa-apa. MRP yang kita harap saja sudah diamputasi. Penetapan Pj gubernur di Jakarta. Padahal, katanya, itu untuk masyarakat Papua,” tegasnya. (*)