Pemekaran Papua Bukan Solusi
Mendagri Tito Karnavian saat acara peresmian Provinsi dan Pelantikan Penjabat Gubernur Papua Selatan, Provinsi Papua Tengah dan Provinsi Papua Pegunungan di Plaza Kantor Kemendagri, Jakarta Pusat, Jumat (11/11/2022).- Foto: Puspen Kemendagri-
SURABAYA, HARIAN DISWAY- PAPUA resmi memiliki lima provinsi. Itu setelah penambahan tiga provinsi baru. Daerah otonomi baru (DOB) tersebut adalah Papua Selatan, Papua Tengah, dan Papua Pegunungan. Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian baru saja melantik penjabat (Pj) gubernur tiga provinsi baru tersebut.
Pelantikannya di kantor Kemendagri Jakarta Pusat, Jumat, 11 November 2022. Satu dari tiga orang Pj gubernur memiliki latar belakang jaksa. Sisanya merupakan staf ahli Tito Karnavian di Kemendagri.
Tujuan pemerintah melakukan pemekaran itu hanya untuk pemerataan kesejahteraan masyarakat di sana. Awalnya, muncul dua kelompok di tanah Papua. Kelompok pertama menerima rencana tersebut. Ada juga yang menolak.
Karena itu, Andri Arianto, pengamat politik dari Universitas Airlangga, menyebutkan bahwa penetapan itu tidak dalam waktu yang tepat. Pun, tidak memikirkan kondisi yang terjadi di daerah tersebut. Sebab, tindakan itu akan memperuncing konflik internal di Papua.
”Di sana kan tidak semua terima dengan adanya pemekaran tersebut. Ada juga yang menolak. Dengan adanya pelantikan ini, pasti akan memperkeruh suasana di sana,” katanya saat dihubungi Harian Disway, Jumat, 11 November 2022.
Pemekaran itu sangat mungkin tidak membuat gerakan separatisme dari kelompok yang ingin memisahkan diri dari NKRI berhenti. Juga, ia memberikan contoh pemekaran Papua Barat. Hingga kini, itu tidak menghentikan diskriminasi yang terjadi di Papua.
”Artinya, pemekaran itu apakah menjadi solusi? Solusi yang dimaksud adalah dapat memenuhi harapan masyarakat asli Papua. Itulah yang masih menjadi perdebatan hingga saat ini. Kesejahteraan masyarakat di sana seperti apa sekarang,” ucapnya.
Seharusnya, dalam pemekaran itu, ada partisipasi masyarakat setempat. Untuk menyaring keinginan dan impian mereka. Semestinya, pemerintah mengevaluasi pemekaran dua daerah sebelumnya.
”Harusnya ada forum diskusi terhadap kelompok yang setuju ataupun tidak setuju dengan DOB tersebut. Keinginan mereka apa sih?” bebernya. Sebenarnya pendekatan yang dilakukan itu struktural.
Ia juga mempertanyakan niat pemerintah dalam melakukan otonomi tersebut. Apakah DOB itu untuk kesejahteraan masyarakat atau hanya untuk kepentingan pemerintah? Mengingat, Papua adalah daerah yang sangat kaya sumber daya alam.
”Harapan saya sih, dari pemekaran itu, kekerasan dan diskriminasi terhadap masyarakat Papua bisa hilang. Juga, bisa memproteksi hak asasi masyarakat Papua menjadi lebih baik. Dari pemekaran sebelumnya saja, sempat terjadi rasisme. Itu sudah tidak bisa ditoleransi,” tegasnya.
Pun, jika dasarnya untuk kesejahteraan masyarakat, ia menilai, pemekaran Papua Barat tidak memberikan perubahan signifikan terhadap perekonomian masyarakat lokal. Bahkan, pelanggaran HAM di Papua makin tinggi.
Kebebasan berekspresi di Papua juga sangat terbatas. Misalnya, larangan mengibarkan bendera Papua. Tindakan itu masih dianggap pemberontakan. ”Dulu di zaman Gus Dur (Abdurahman Wahid), tindakan itu boleh-boleh saja kok. Asalkan tetap NKRI,” terangnya.
Seharusnya, semua hal di atas menjadi pertimbangan. Termasuk kebebasan berpendapat. Dengan demikian, pemekaran itu tidak menjadi batu sandungan. ”Jangan hanya melakukan pemekaran untuk kepentingan pemerintah,” tegasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: