Tak Besar Pasak dari Tiang

Senin 14-11-2022,09:29 WIB
Reporter : Max Wangge
Editor : Max Wangge

BEBERAPA tahun lalu, di bulan-bulan setelah Inggris kalah oleh Islandia di Euro 2016, ada hal aneh yang terjadi pada pandangan negara itu terhadap tim nasionalnya.

Pengalaman pahit di turnamen besar, satu demi satu, pada akhirnya akan berdampak pada suatu bangsa. Selama lebih dari 20 tahun setelah Euro 96, batas tertinggi Inggris adalah 8 besar. Perempat final adalah prestasi yang bagus. 

Inggris tersingkir di fase grup (2000 dan 2014), fase knockout pertama (1998, 2004, 2010, 2012, dan 2016), dan sama sekali tidak lolos (2008).

Kalah oleh Islandia di Nice pada putaran kedua Euro 2016 dan sikap Inggris yang hangat, pemalu, dan ketakutan di sana terasa seperti titik nadir. Realitas itu lantas menurunkan ekspektasi.

Pikiran memenangkan turnamen terasa seperti mimpi eksotis. Ada bahkan yang tega mengatakan hanya utopia. 

Banyak fans Inggris bercanda tentang peluang negaranya di Piala Dunia 2018. Kala itu sebagian besar orang setuju bahwa melaju ke putaran dua saja sudah lumayan bagus. Inggris seperti belajar mencela diri sendiri. Inggris belajar untuk berhenti menganggap dirinya superior. 

Inggris belajar bahwa negara lain sebenarnya sangat bagus. Namun, Gareth Southgate pergi ke Rusia dan merusak semua anggapan itu. Ia membawa skuad muda, mentah, tidak terlatih ke Rusia. Ternyata, ia membawa mereka sampai ke semifinal. Kemudian, di turnamen berikutnya, ia memimpin tim Inggris melumpuhkan Jerman, Ukraina, dan Denmark sehingga melaju ke final Euro 2020. Inggris hanya kalah adu penalti dari Italia.

Kini keraguan sirna. Sekarang fans malah percaya bahwa Inggris tidak seharusnya tak hanya memenangkan Piala Dunia 2022, tetapi juga harus memenangkan Euro tahun lalu.

Fans baru tahu bahwa pemain Inggris sebagus itu. Begitu bagusnya sampai-sampai sekarang semua orang menganggap justru hanya Southgate yang bodoh. Southgate bukan Sven-Goran Eriksson. Ia juga bukan Fabio Capello. Keduanya adalah sosok pelatih yang mendapatkan dukungan luar biasa dari publik sepak bola negara itu. Finalis semestinya jadi prestasi paling minimum dengan kumpulan tim Inggris sekarang.

Gagasan bahwa Piala Dunia ini –seperti dua turnamen besar sebelumnya– akan menjadi milik Inggris bukan karena orang yang bertanggung jawab adalah hipotesis yang menarik. 

Maaf jika ini terdengar pesimistis, tetapi apakah Anda pernah melihat skuad Brasil?

Bahkan, prediksi paling negatif pun tampaknya berpusat pada asumsi bahwa Inggris akan lolos ke perempat final, yakni mereka mungkin akan menghadapi juara bertahan Prancis. Hal itu didasarkan pada anggapan bahwa tim asuhan Southgate akan tersingkir dari grup. Dan, ya, logika dan alasan menunjukkan bahwa itu adalah asumsi yang adil.

Namun, gagasan bahwa Inggris harus melewati lawan yang sangat mungkin, Belanda atau Senegal di babak kedua, khususnya, terasa sangat cacat.

Kekalahan Inggris oleh Senegal akan disajikan sebagai kekecewaan untuk mengakhiri mereka semua ketika kenyataannya adalah Senegal merupakan tim terbaik di Afrika, juara bertahan Piala Afrika, turnamen yang mereka menangkan awal tahun ini, dan mengalahkan Mesir yang diperkuat Mo Salah dalam playoff untuk mencapai Qatar 2022.

Inggris-Senegal akan menjadi pertandingan 50-50, terutama jika Sadio Mane sudah pulih dari cedera saat itu.

Kategori :