Pesta bola empat tahun sebentar lagi digelar di negeri petrodolar Qatar. Sejumlah kritik sudah dibahas. Terbaru adalah kritik soal kehadiran pemandu sorak agar stadion tidak kosong. Berikut analis kronis Martin Samuel seperti disarikan dari Sportsmail.
----------
IBARAT garis, FIFA itu bengkok. Sekarang mengapa seluruh dunia diminta jadi bengkok juga. Surat bujukan Gianni Infantino yang meminta agar 32 negara di Piala Dunia Qatar fokus pada sepak bola saja tidak lebih dari suatu upaya telanjang untuk menutupi jejak korupnya sendiri.
Bahwa suratnya ditandatangani sekretaris jenderalnya, Fatma Samoura –yang tertua sejak 2016– menunjukkan tidak ada yang benar-benar berubah di puncak organisasi.
Mereka mengeklaim telah membersihkan tindakannya, tetapi faktanya masih FIFA, tuan dan nyonya. Itu masih merupakan kepentingan pribadi dan keserakahan yang terselubung sebagai kebaikan permainan.
Beraninya FIFA membawa turnamen ini ke negara represif, otokratis, dan kemudian dengan saleh meminta para peserta meninggalkan politik dan moralitasnya di rumah? Beraninya FIFA menggelar festival sepak bola di kuburan buruh migran yang meninggal dan meminta pemain yang berjalan di lapangan menoleh ke arah lain?
Minggu ini, baru saja terungkap. Qatar yang penduduknya hanya 2,8 juta jiwa harus mengeluarkan uang ekstra untuk membayar biaya pemandu sorak atau penonton. Jelas, stadion akan kosong melompong. Oleh karena itu, Qatar membutuhkan pemandu sorak untuk meramaikan stadion. Kehadiran para pemandu sorak itu seolah-olah sejalan dengan mantra duplikat FIFA bahwa semua orang punya hak yang sama untuk datang ke negeri petrodolar.
Jadi, mengapa sekarang ada begitu banyak pembicaraan tentang menghormati tradisi penghancuran tuan rumah? Bagi Infantino yang kemudian berusaha membelokkan kritik terhadap rezim Qatar –dan karena itu juga FIFA– dengan meminta peserta untuk fokus pada sepak bola adalah hal yang tercela. Infantino ingin berpura-pura politik dan olahraga tidak bercampur aduk. Sekarang seolah-olah cocok untuknya, ketika dua penghargaan Piala Dunia terakhir telah ditembakkan dengan motivasi politik.
Rusia pada 2018, Qatar pada 2022 –bersatu dalam pemungutan suara yang belum pernah terjadi sebelumnya karena beberapa alasan yang tidak dapat dijelaskan. Apakah motivasinya bukan politik? Apakah tidak basah kuyup dalam soft power, pengaruh, dan prestise di panggung global? Eksekutif korup FIFA diuntungkan dari keinginan tersebut. Beginilah hasilnya. Dan sekarang di sinilah kita seharusnya tidak menyebutkannya?
Akan tiba saatnya ketika sepak bola, secara alamiah, mengambil alih agenda. Piala Dunia berhasil hanya karena itu adalah Piala Dunia. Piala Dunia berhasil hampir terlepas dari penyelenggara.
Olimpiade pun sama. Ingat London 2012? Sebelumnya, juga ada masalah. Pasti selalu ada masalah. Namun, itu semua masalah olahraga, kemuliaan, dan keajaiban. Ketika Piala Dunia Qatar dimulai, akan ada sepak bola hebat yang dimainkan para atlet dari 32 negara dan menjadi 8 negara pada 2026. Itu tidak memaafkan FFA yang koruptif maupun korbannya. Itu tidak memaafkan mereka membawa mahkota ke bagian dunia yang membutuhkan panduan sorak berbayar untuk membuatnya enak.