PETUGAS karantina rutin mengantar sarapan tiap jam 7 pagi. Menunya bubur polos. Ditambah 2 saset kiam chai (咸菜) alias sayur asin sebagai perisa biar tidak hambar. Hidup sudah kadung hambar, kalau ditambah sayur yang tak kalah hambar, benaran makin ambyar. Juga dilengkapi telur rebus sebagai sumber proteinnya. Makanan pendampingnya mantou (馒头), roti putih bulat semacam bakpao tapi tidak berisi. Penutupnya susu dan apel satu biji.
Makan siangnya pun tepat waktu. Antara jam 11.30 sampai jam 12.00 sudah diantar. Langsung ditaruh di meja kecil depan kamar. Praktis tak ada kontak sama sekali dengan pengantar makanan yang selalu ber-APD lengkap itu.
Makan malam juga begitu. Sekitar jam 6.30 petang, di meja depan kamar bisa dipastikan sudah ada makanannya.
Beda dengan sarapan, menu makan siang dan makan malam kami ramai sekali. Di satu porsinya selalu ada daging, ikan, dan dua macam sayur. Masih ada kuah, buah, dan minuman—kadang teh kotak atau minuman bersoda yang pada zamannya Mao Zedong dianggap sebagai lambang kapitalisme.
Karena tahu kami muslim, kami disuguhi penganan halal saban hari. Di bungkus plastiknya selalu diberi penanda tulisan 清真 yang berarti halal.
Tulisan 清真 di kotak makanan yang menunjukkan bahwa makanan tersebut halal. -Novi Basuki-Harian Disway-
Pernah suatu ketika jatah makan siang saya telat datang. Hingga jam 14.30 belum diantar. Untung saya masih punya mi instan, yang dibagikan petugas ketika kami baru tiba di pusat karantina. Saya masak itu. Lumayan mengenyangkan.
Karena penasaran, saya telepon front desk, menanyakan apa makan siang memang akan diantar terlambat lantaran gerimis sedari pagi. Petugasnya malah bilang sudah diantar semua sesuai jadwal. "Akan kami bantu konfirmasi ke petugas antar makanan," sambungnya.
Tak lama berselang, kamar saya ada yang mengetuk. "Mohon maaf sekali saya lupa menaruh makan siang Anda tadi. Saya salah menaruh di kamar sebelah," kata petugas berkacamata dengan APD lengkap sambil membungkukkan badannya berkali-kali. Saya jawab no problem. Lalu ia pergi ke kamar sebelah, mengetuk pintunya, juga untuk menyampaikan permintaan maaf. Kemudian, kembali ke kamar saya untuk minta maaf lagi. Saya jadi merasa bersalah pada petugas itu.
Seperti makan, swab juga menjadi rutinitas kami. Swab biasanya dilakukan siang atau sore hari. Petugas datang mengetuk pintu, menunjukkan nama yang tertera di vacuum tube sampel lendir, kami buka mulut, sudah. Lalu, giliran pintu kamar sebelah yang diketuk. Begitu pun seterusnya.
Syukurnya bukan hidung yang dicolok. Cukup tenggorokan. Kalau hidung, sudah tak terbayangkan bagaimana buruknya nasib hidung kami dicolok tiap hari.
Tapi, kami tidak pernah berani melihat hasil swab. Ogah kepikiran macam-macam. Apalagi, teman saya yang tinggal di Beijing bilang, ada kawannya yang harus karantina lebih sebulan karena swab-nya positif terus.
Kawannya itu, katanya, baru dari luar negeri. Seperti biasa, masuk ke Tiongkok harus dikarantina. Setelah hari keenam, hasil swab-nya ternyata positif. Tanpa ampun, ia langsung dibawa ke rumah sakit untuk mendapat perawatan intensif dan baru negatif sekitar dua minggu kemudian.
Tentu kalau kita di Indonesia, sehabis dari rumah sakit akan langsung pulang ke rumah. Tapi di Tiongkok aturan mainnya tidak begitu. Ia masih harus karantina lagi. Sampai total lebih sebulan itu.
Makanya, sepanjang tidak ada pemberitahuan apa-apa, kami anggap negatif semua hasil swab kami. Kami mau mengamalkan pepatah Tiongkok, "美意延年": berpikir positif akan memperpanjang umur.