Saya telepon petugas karantina. Tak dinyana, mereka memperbolehkan kami keluar jam 8. Tepat di angka hoki. ”Akan ada petugas yang menjemput kalian nanti,” sambungnya.
Yusuf Ramli, bos perusahaan perikanan Komira Group, berpose dengan surat pembebasannya-Foto: Novi Basuki-Harian Disway-
Kami senang tak alang kepalang. Saya yang kamarnya tetanggaan dengan Pak Amal dan Pak Rois tapi selama 10 hari hanya bisa menyapa kalau kebetulan bersamaan buka pintu saat ambil makanan, langsung berani bertandang melepas kegetiran.
Tapi, satu jam berselang kok belum ada petugas yang datang?
Saya kontak front desk lagi.
”Kalau gitu, kalian buka sendiri saja pintu keluarnya,” sarannya.
”Ada password-nya,” jawab saya.
Ia kemudian memberi tahu kami kodenya. Saya menginputnya, dan krek, pintu keluarpun terbuka.
Sementara Pak Yusuf yang di lantai 2, sudah duluan keluar, nunut orang Tiongkok yang juga dibebaskan di jam yang sama.
Sepanjang menyusuri jalan keluar, kami mengamati pusat karantina yang bisa menampung 2 ribuan orang ini memang didesain seperti penjara. Tidak ada blind spot yang memungkinkan kami kabur dari gedung yang totalnya ada 43 dan pembangunannya selesai dalam 56 hari saja ini.
Amal Ghozali di depan pos satpam pusat karantina.-Foto: Novi Basuki-Harian Disway-
Kami bersyukur bisa melewati masa-masa kelam dikarantina. Pak Yusuf berjingkrak dan langsung berfoto dengan surat pembebasannya. Pak Amal tak kalah bergembira, kendati stok rokoknya sudah tak tersisa. Pak Rois terus mengabari keluarganya. Mr Wang yang menunggu kami di pintu gerbang, sedari tadi sudah siaga. Ia akan membawa kami ke Taizhou, sebuah perjalanan yang tak kalah menyiksa psikis kami semua. (*)