MESKI dongkol, kami tetap harus menambah masa karantina kami. Di tempat dan kamar yang sama. Selama total 10 hari.
Warga Tiongkok enak. Sehabis karantina kolektif 7 hari di pusat karantina, bisa pulang ke rumah masing-masing untuk lanjut karantina mandiri 3 hari.
Kami tidak bisa begitu. Tidak akan ada hotel yang menerima kami. Sebab QR code kesehatan kami masih berwarna kuning. Yang berarti belum bisa menggunakan atau masuk ke fasilitas publik.
BACA JUGA:Catatan Perjalanan ke Tiongkok Saat Pandemi (7): Karantina 7+3
Namun, saya lihat juga tidak sedikit orang Tiongkok yang memilih untuk melanjutkan karantina di pusat karantina yang ditunjuk pemerintah ini. Terutama mereka yang berasal dari luar Provinsi Fujian. Mungkin karena tidak mau ribet mengurus administrasi. Soalnya, mereka harus lapor dulu ke pihak terkait di daerah masing-masing. Setelah disetujui, baru mereka boleh karantina mandiri di kediaman sendiri-sendiri.
Beda kalau digenapkan 10 hari dan negatif terus hasil swab-nya. Tidak perlu lagi lapor sana-sini. Juga bisa langsung ngacir ke mana-mana sesuka hati.
Memang bosan sekali. Sudahlah bayar RMB 325 per hari, yang didapatkan malah kejemuan hidup. Kalau García Márquez punya novel terkenal Seratus Tahun Kesunyian, maka kami punya sepuluh hari kebosanan.
Saya jadi sadar, hidup yang siklus hariannya cuma mangan, turu, telek ternyata sangat tidak seru juga. Tak heran bila Bung Karno pernah dalam satu pidatonya menegaskan tidak menginginkan bangsa Indonesia ini menjadi seperti Negeri Uttarakuru yang ia baca dalam epos masyhur Rāmāyana.
Konon, di Uttarakuru itu, tak ada panas yang terlalu; tak ada dingin yang terlalu. Tak ada manis yang terlalu; tak ada pahit yang terlalu. Segalanya tenang dan menyenangkan. Mirip gambaran surga yang selalu diceritakan tokoh-tokoh agama.
Sayangnya, negeri yang begini, kata Bung Karno, tak akan pernah menjadi negeri yang besar. “Sebab tidak ada up and down, up and down! Perjuangan, tidak ada!”
Itulah mengapa kami ingin cepat-cepat bisa keluar dari karantina. Supaya bisa segera berjuang untuk ikan layang, cakalang, dan ”ikan sejuta umat” lain yang HPP-nya, menurut Pak Yusuf dan Pak Amal, masih kelewat mahal.
Makanya, begitu malam ke-10 tiba, kami girangnya bukan main. Mungkin seperti narapidana yang esok harinya akan dibebaskan.
Untuk merayakannya, kami bikin list makanan yang akan dimakan begitu keluar. Kami masukkan kambing bokong semok –yang tiap hari dimakan Abah Dahlan Iskan ketika 2019 silam ke Xinjiang– sebagai makanan pertama yang wajib kami hajar.
Pas sedang asyik-asyiknya menyusun menu makan, petugas swab datang.
Swab hari terakhir beda dengan biasanya. Tidak hanya ambil sampel lendir dari kerongkongan, tapi gagang pintu, tas, bantal, dan selimut juga turut diusap-usap menggunakan tes kit yang kayak cotton bud itu.