Mobil yang disewa Mr Wang untuk menjemput kami melaju kencang ke arah barat, keluar area pusat karantina.
Setelah melewati jembatan, saya baru tahu pusat karantina ini ternyata berada di pulau terpencil bernama Langqi (琅岐岛). Pulau ini memang berada di bawah administrasi Kota Fuzhou, ibu kota Provinsi Fujian. Tapi terpisah dari Kota Fuzhou oleh Sungai Min (闽江).
Untuk menghubungkan Langqi dengan Fuzhou, pada 2010 silam dibangun Jembatan Langqi-Sungai Min (琅岐闽江大桥) sepanjang 1.280 meter –yang kami lalui itu. Jembatan yang lebarnya 28,7 meter ini terbagi menjadi enam lajur dua arah.
Kemudian, mobil kami berbelok ke arah selatan. Melewati Terowongan Gunung Merah (红山隧道) yang mengular sepanjang 24 km. Lalu-lalang kendaraan begitu lengang. Gas pun makin digeber. Hingga tak terasa kami telah sampai di hotel Mr. Wang menginap, di dekat Stasiun Fuzhou Selatan (福州南站).
Kami sempatkan makan siang. Karena kereta kami masih akan berangkat jam 14:35. Bukan makan kambing bokong semok seperti agenda semula. Sebab tidak enak ke Mr Wang yang seorang vegetarian. Ia tidak makan daging apapun sejak kecil. Juga tidak minum alkohol. Cuma merokok. Dan yang dirokoknya mahal-mahal. Satu paknya bisa sekitar Rp 250.000. "Kalau syarat untuk menjadi muslim adalah tidak makan babi dan minum khamar, maka saya sudah muslim dari dulu,” selorohnya.
Tentu Mr Wang bukan muslim. Ia mengaku tidak menganut agama apapun. Tapi percaya bahwa setiap agama punya unsur-unsur positif yang layak dipelajari. Ia selalu sigap memberi tahu kami mana makanan yang bisa kami makan, mana yang tidak. Bahkan, ia langsung meng-order menu baru begitu mengetahui ada remah-remah bab 1 di makanan yang kami pesan.
Sehabis makan siang, kami langsung memesan taksi ke stasiun kereta.
Taksi di kota-kota Tiongkok makin banyak yang pakai mobil listrik. Itu bisa dilihat dari berseliwerannya taksi-taksi yang platnya berwarna hijau. Padahal, lima tahun lalu penggunaan mobil listrik sebagai taksi masih belum semerata saat ini.
Maklum, beberapa tahun belakangan pemerintah Tiongkok getol menggalakkan konversi taksi berbahan bakar minyak ke listrik. Sampai-sampai diberi subsidi yang lumayan tinggi bagi yang mau mengikuti. Di Hangzhou, kota yang tak jauh dari Taizhou yang akan kami tuju itu, misalnya. Pemkotnya memberikan insentif RMB 30.000 kepada setiap driver taksi yang menggunakan mobil listrik.
Memang, soal infrastruktur dan ketersediaan transportasi publik, Tiongkok tiada duanya. Penduduk Tiongkok jadi tidak memerlukan ilmu melipat bumi untuk berpindah dari satu tempat ke tempat lain dalam tempo singkat.
Tinggal pilih moda transportasi yang cocok: taksi, bus, MRT, kereta cepat, atau pesawat. Tarifnya pun kian terjangkau. Apalagi buat warga Tiongkok yang makin tajir melintir.
Prosesnya juga makin simpel. Benar-benar terjadi efisiensi waktu.
Untuk naik kereta cepat, contohnya. Tidak perlu lagi mencetak tiketnya. Kami tinggal scan paspor dan menunjukkan QR code kesehatan ke petugas jaga. Warga Tiongkok jauh lebih mudah. Cukup arahkan wajahnya ke kamera pemindai di pintu masuk ruang tunggu, dan pintupun akan terbuka.
Dulu, di Tiongkok kita boleh lupa dompet, asal tidak lupa HP –karena seluruh data kita tersimpan di sana. Kini, kita boleh lupa HP –sebab dengan wajah kita, meski tidak good looking, kita akan bisa melakukan segalanya. Big data Tiongkok nyata dan digdaya.
Semuanya serba cepat dan praktis. Jarak Fuzhou-Taizhou yang seperti Jakarta-Semarang cuma ditempuh dalam waktu 2 jam dan 45 menit. Sungguh perjalanan yang menyenangkan tapi mendadak berubah menegangkan sejak kami turun dari kereta untuk keluar stasiun.
Kami mengira, karena sudah ada QR code kesehatan yang di dalamnya terdapat bukti bahwa 24 jam sebelumnya kami sudah swab dan hasilnya negatif, tidak akan ada lagi colok-colok tenggorokan.