Di dalam ruang kedap suara itu boleh melakukan apa saja. Tak hanya memukul, barang-barang tersebut juga bisa dilempar ke dinding. Sambil berteriak histeris sesuka hati atau bahkan menangis sejadi-jadinya. Semuanya bisa dilampiaskan sampai lega di ruangan itu.
Andy Pinaria, pemilik Five to Nine Service. -FOTO: David Ubaydulloh-Harian Disway-
Meski dibuka sejak Oktober, peminatnya ternyata cukup banyak. Apalagi, ketika memasuki akhir pekan. Meski ada yang sekadar ingin bersenang-senang, kata Andy, tak sedikit pula pengunjung datang memang benar-benar membutuhkan tempat itu.
”Ada yang main sampai minta tambah barang terus. Keluar ruangan kayak habis berantem sambil ngos-ngosan,” katanya.
Demi mengatasi hal tersebut, ia menggandeng klinik psikologi yang bernama Dear Astrid. Riset pengunjung dilakukan hingga bagaimana cara memberikan penanganan. Itu bisa diidentifikasi dari sebelum bermain, pengawasan, atau sesudahnya.
Bila ada pengunjung yang terlihat membabi buta atau bahkan menangis, Five to Nine Service memberikan penanganan khusus. ”Kami juga bakal sarankan untuk lanjut ke psikologi,” ujar pria kelahiran 1993 itu.
Ruang pelampiasan emosi atau rage room kali pertama muncul berada di Jepang pada 2008. Tujuannya, membantu pegawai yang stres dan meringankan perasaan frustrasi mereka yang terpendam.
Kini fenomena itu makin populer dan dapat ditemukan di sebagian kota besar, antara lain, di Amerika Serikat dan Eropa. Sedangkan di Indonesia sendiri, selain Surabaya, tempat tersebut dapat ditemukan di Jakarta dan Bali. (Noor Arief-Yusuf Dwi)