Dengan kata lain, Gribble sotoy.
Hasil dari Kiehl, ternyata Gribble dan Spader sama-sama punya IQ rendah. Mereka berteman sejak kecil. Sama-sama diabaikan ortu mereka di masa kecil. Spader lebih percaya diri daripada Gribble. Sebaliknya, Gribble mengidolakan Spader.
Mereka jadi pasangan yang klop. Spader merasa jadi hero karena diidolakan Gribble. Sebaliknya, Gribble merasa dapat kompensasi. Melepaskan rasa terabaikan, terhina, frustrasi, di masa kecil, dengan mengikuti kenakalan-kenakalan Spader. Jadi klop. Mereka sering menyakiti orang lain.
Dalam bahasa Surabaya: Spader gunggungan. Gribble tukang sorak hore. Keduanya dihukum seumur hidup, tanpa pembebasan bersyarat, di penjara keamanan maksimum.
Kiehl menyusun hasil risetnya itu dengan sistematis akademik. Jadi buku yang menginspirasi pembacanya, orang tua, agar tidak terjerumus dalam mengasuh anak-anak.
Kiehl: ”Perasaan klinis saya, anak ini (Gribble) salah bergaul. Ia punya pikiran rapuh. Orang dapat menanamkan ide apa saja ke dalam pikiran yang rapuh, lantas membuat ia melakukan apa saja. Keyakinan Gribble bahwa dirinya psikopat adalah delusi. Ia hanya salah bergaul.”
Satu kunci: Spader dan Gribble terabaikan ortu di masa kecil. Kesimpulan itu banyak ditemui di teori-teori pemikir kriminologi, psikologi, sosiologi. Mereka merujuk akar masalah di masa kecil manusia.
Bagaimana dengan Dhio? Sulit dibayangkan, masa kecilnya diriset psikolog. Dalam budaya kita, tidak memungkinkan itu. Sebab, dianggap bisa memalukan pihak keluarga. Atau, penelitinya sungkan kepada keluarga yang diteliti untuk mengungkap secara jujur. Akibatnya, riset bias.
Betapa pun, kasus pembunuhan sekeluarga itu bakal diungkap di pengadilan. Kita tunggu hasilnya di sana. (*)