Mengapa Peleceh Seks Ditelanjangi di Kampus Gunadarma?

Kamis 15-12-2022,05:30 WIB
Oleh: Djono W. Oesman

Bentuk hukuman terhadap pelaku pelanggar moral, dari hampir semua responden, adalah mempermalukan si pelanggar. Berupa sanksi lisan, bullying di medsos. Hanya sebagian kecil yang setuju hukuman fisik.

Di negara-negara yang diriset, semuanya melarang vigilante. Tindakan main hakim sendiri adalah ilegal di semua negara tersebut. Kendati, masyarakat di sana masih main hakim sendiri jika suatu pelanggaran moral tidak segera ditindak. 

Juga, masyarakat responden menyatakan akan main hakim sendiri jika mereka menilai, hukuman sah yang dijatuhkan kepada pelanggar hukum dinilai masyarakat terlalu ringan. Akibatnya, itu tidak menimbulkan efek jera. Di situlah muncul rasa keadilan masyarakat.

Tapi, itu sekadar riset. Di negara yang jauh. Jauh lokasi, jauh budaya.

Di Indonesia, dalam beberapa tahun terakhir, muncul pembelaan terhadap kaum wanita yang dilecehkan pria. Mungkin, terpengaruh gerakan Me Too yang dimulai di AS, Oktober 2017. Atau karena faktor lain, yang belum pernah diriset.

Kendati, pemerkosa sembilan santriwati, pengasuh ponpes, Herry Wirawan, sudah divonis hukuman mati. Hukuman maksimal. Tapi, untuk korban wanita dewasa, masih belum maksimal. Apalagi, sanksi untuk pelaku begal payudara yang dinilai ”lebih remeh” daripada pemerkosaan.

Betapa pun, kasus Gunadarma jadi kejutan kampus. Bisa menimbulkan berbagai komentar. (*)

 

Kategori :