Mengapa Peleceh Seks Ditelanjangi di Kampus Gunadarma?

Kamis 15-12-2022,05:30 WIB
Oleh: Djono W. Oesman

Ada tenggang sepuluh hari, antara kejadian pelecehan seks M terhadap mahasiswi, dan M ditelanjangi ramai-ramai. Karena tidak ada penyelesaian kasus. Ke mana pihak rektorat?

Melalui siaran pers, Rabu, 14 Desember 2022, Wakil Rektor 3 Universitas Gunadarma Irwan Bastian menuliskan: Mengakui bahwa terduga pelaku dan korban sama-sama mahasiswa-mahasiswi Gunadarma. Bahkan, ada dua pelaku dan tiga korban, semuanya mahasiswa kampus itu.

Dituliskan di siaran pers.

”Di Minggu kemarin (11/12/2022) bidang kemahasiswaan proaktif membangun komunikasi dengan korban pertama.”

Minggu, 11 Desember 2022, sekitar pukul 16.30 WIB hingga 19.45 WIB di kampus E Universitas Gunadarma, bidang kemahasiswaan memanggil terduga pelaku pertama. Untuk klarifikasi.

Senin siang, 12 Desember 2022, bidang kemahasiswaan berkomunikasi dengan korban kedua dan ketiga. Tujuannya juga untuk klarifikasi.

Senin, 12 Desember 2022, pukul 15.00 di kampus E, terduga pelaku diikat di pohon, ditelanjangi ramai-ramai.

Kabidhumas Polda Metro Jaya Kombespol Endra Zulpan menjawab pertanyaan wartawan Rabu (14/12). Ia mengatakan, kasus pelecehan seksual di Universitas Gunadarma sudah berakhir damai. Korban tidak melaporkan pelaku ke polisi. ”Karena korban malu,” ujarnya.

Dari kronologi itu, kelihatan tindak main hakim sendiri akibat sepuluh hari kasus tersebut tanpa penyelesaian. Jadi liar di medsos. Berakhir begitu.

Tindak main hakim sendiri disebut vigilante. Dari bahasa Portugis, artinya penjaga. Kemudian berkembang, orang yang menjaga untuk mengamankan sesuatu disebut vigilantos.

Dikutip dari makalah ilmiah Department of Psychology, Univesrsity of Illinois, Amerika Serikat (AS), 22 Maret 2022, bertajuk Vigilantism is an identity for some people, researchers report, dimuat riset tentang vigilante.

Riset dilakukan tim pakar, dipimpin kandidat doktor psikologi University of Illinois Fan Xuan Chen pada 2021 di AS, Selandia Baru, dan India. Negara-negara itu dipilih lantaran dianggap mewakili budaya Barat dan Timur.

Fan Xuan Chen: ”Kami mengembangkan alat, skala identitas main hakim sendiri atau VIS (the vigilante identity scale) untuk menilai seberapa jauh orang mengadopsi identitas main hakim sendiri.” 

Pelaku vigilante melihat diri mereka sebagai penghukum dan pemantau lingkungan. Biasanya, mereka bermoral baik. Karena itu, mereka berani menghukum orang lain yang bermoral buruk, yang tidak atau belum dihukum oleh aparat hukum yang sah.

Para peneliti mengevaluasi efek dari identitas main hakim sendiri dalam studi terpisah di Selandia Baru, India, AS, dan dalam survei online. Temuan termasuk langkah-langkah yang dilaporkan sendiri dan pengamatan anggota rumah tangga dekat (dalam studi Selandia Baru) dan majikan (di India).

Alhasil, satu dari lima orang sangat mendukung identitas main hakim sendiri. Itu sekitar 20 persen, responden sangat mendukung tindakan main hakim sendiri. Dengan catatan, pelaku pelanggar moral tidak segera (atau belum) diberi sanksi hukum yang sah.

Kategori :