Gerakan perlawanan pejuang surat ijo akhirnya ditempuh lewat jalur pengadilan. Warga RW XV Kelurahan Jagir dan RW VI Kelurahan Ngagelrejo, Kecamatan Wonokromo mendaftarkan gugatan mereka ke Pengadilan Negeri Surabaya pada 2007.
Mereka adala 6.160 keluarga yang tinggal di tanah surat ijo. PN Surabaya memanggil beberapa saksi ahli dan akademisi dari Universitas Airlangga (Unair) Surabaya. Salah satu putusan PN adalah menolak gugatan dengan berbagai alasan. Antara lain, gugatan dinyatakan tidak jelas dan salah jalur. Perkara perdata tersebut seharusnya diajukan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Selain itu status legal standing lembaga RT dan RW tidak bisa dipakai untuk menggugat. RT dan RW adalah lembaga yang berfungsi melayani rakyat, bukan sebagai badan hukum. Dalam kerangka putusan itu , PN menolak provisi penggugat maupun eksepsi tergugat. Maknanya, kedua pihak tidak diperbolehkan mengubah status tanah yang kini ada dan berlaku. “Dalam kondisi seperti itu, tanah surat ijo bisa dianggap dalam kondisi status quo,” tulis Sukaryanto dalam bukunya Reforma Agraria Setengah Hati. Warga tidak berhenti di sana. Mereka melanjutkan gugatannya ke Mahkamah Agung (MA) setelah banding di Pengadilan Tinggi Jatim ditolak. Warga harus menunggu empat tahun sampai akhirnya MA menyatakan sikap. Gugatan ditolak. Meski ditolak, Sukaryanto mencatat ada yang menarik dari gugatan itu. Ada penggugat invervensi. Yakni penggugat yang keberadaannya sangat diperlukan karena memiliki hubungan historis-yuridis yang sangat terkait dengan objek yang disengketakan. Mereka adalah Mbok Dewi pemilik tanah di Ngagel Rejo dan Njoo Sioe Liep yang punya hak atas tanah surat ijo di Kelurahan Jagir IX. Pada masa lampau mereka memegang hak opstal (hak guna bangunan) dan erfpacht (hak guna usaha) di atas tanah gemeente yang disewakan. Yang berdasarkan UUPA tahun 1960, habis masa pakainya pada 1980. Atau 20 tahun setelahnya. Mereka lalu mendaftarkan tanahnya ke BPN untuk memperoleh sertifikat HGB. Tapi tidak pernah terealisasi. Mereka dinyatakan telat karena pengurusan dilakukan melebihi jatah waktu 20 tahun yang diberikan. Sukaryanto menyimpulkan tanah yang disengketakan tersebut merupakan tanah negara yang belum diberi hak apapun. Pemkot dan warga sama-sama tidak punya hak. Namun warga berada di posisi yang lebih kuat. Sebab, mereka menempati dan menggaran tanah itu puluhan tahun. Selain itu penerapan IPT yang dilakukan pemkot sejak 1977 dianggap menabrak ketentuan UUPA. Sebab tanah negara bebas tidak boleh ditarik retribusi. Pemkot tidak punya hak. Meski kalah, warga tetap mendapatkan informasi yang berguna untuk langkah kemudian hari. (Salman Muhiddin) Sempat Menang di Tingkat Kasasi, BACA EDISI MINGGU.