Venna Melinda, dari Bucin sampai KDRT

Selasa 10-01-2023,08:06 WIB
Oleh: Djono W. Oesman

Dijelaskan, suatu saat Venna membuat vlog bersama seorang teman pria. Mereka duduk berjejer. Lantas, Ferry mengusirnya. ”Ia (Ferry) bilang: Minggir-minggir...”

Manusia tiada yang sempurna. Apalagi pasangan. Cuma kelihatan harmonis. Kondisi sebenarnya cuma pelaku yang tahu. Tapi, KDRT melanggar hukum. Berdasar UU Nomor 23 Tahun 2004, ancaman hukuman lima tahun penjara.

Richard J. Gelles dalam bukunya, Violence in the Family: A Review of Research in the Seventies (1980), mengatakan, di Amerika Serikat (AS) domestic violence (DV) atau KDRT sudah disoal para wanita sejak 1960-an. Tapi, jadi perkara hukum sejak 1970-an.

Hasil riset, penyebab pria meng-KDRT wanita, karena pelaku umumnya mengalami gangguan jiwa. Dipelajari dari psikopatologi, pelaku mengalami tekanan mental yang berat. Sehingga meledak jadi DV. Pelaku harus diterapi psikologis.

Namun, kemudian terbukti, teori itu tidak benar. Hasil tes psikologi terhadap para pelaku tidak mendukung teori tersebut. 

Hasil riset berikutnya menunjukkan hal sebaliknya. Memang, ada pelaku yang mengalami gangguan psikologis klinis, tapi jumlahnya sangat kecil. Dengan begitu, asumsi berdasar riset lama dipatahkan hasil riset di waktu kemudian.

Michael Paymar dalam bukunya, Building a Coordinated Community Response to Domestic Violence: An Overview of the Problem (1994), menyebutkan, penyebab DV adalah siklus kekerasan. Kemudian, terkenal dengan teori siklus kekerasan.

Teori itu menyebutkan bahwa pria sejak kanak-kanak dilatih ortu, guru, dan lingkungan sosial agar tidak gampang emosional. Maksudnya, jangan sedikit-sedikit ngambek. Lalu, marah. Itu gaya perempuan.

Melainkan sebaliknya. Pria harus mampu mengendalikan emosi. Tenang menghadapi sesuatu. Kalem. Cool.

Dengan demikian, jika ada problem pasutri, pria memendam rasa, menahan emosi. Kondisi itu berisiko. Tumpukan problem atau tekanan jiwa yang dipendam lama-lama bakal tak kuat lagi ditahan. Sekali meledak, terjadilah KDRT.

Jadi, pria boleh pilih yang mana? Cuma dua itu pilihannya. Apakah gampang ngambek? Atau cool, tapi suatu saat meledak? Bisa juga kombinasi dua sikap kotradiktif itu. Atau ambil jalan tengah. Setengah ngambek, setengah cool. Bagaimana bentuknya, bisa dikira-kira sendiri.

Teori siklus kekerasan sering dipasangkan dengan sistem atau teori konflik keluarga. 

Menurut model itu, pria maupun wanita sama-sama berkontribusi pada kekerasan dalam hubungan intim mereka. Disebutkan: ”Perilaku menyerang salah satu anggota, dan kemungkinan terulangnya perilaku itu, dipengaruhi tanggapan dan umpan balik dari anggota lain.”

Teori konflik keluarga mengasumsikan bahwa KDRT disebabkan kekerasan timbal balik. Perempuan memprovokasi pria atau sebaliknya. Kemudian, provokasi dibalas provokasi pula. Begitu seterusnya. Kian lama kian intens. Sampai meledak.

Jadi mirip pepatah: ”Tiada asap jika tak ada api.” 

Gabungan teori siklus kekerasan dengan teori konflik keluarga menjelaskan, mengapa seseorang (bisa suami atau istri) bisa marah meledak-ledak hanya karena persoalan sepele. Yang bagi orang lain, hal sepele itu bukan persoalan.

Kategori :