Masyarakat Tionghoa dan Perkembangan Kota di Indonesia

Sabtu 21-01-2023,04:50 WIB
Oleh: Purnawan Basundoro*

MASYARAKAT Tionghoa memiliki kontribusi besar terhadap perkembangan kota-kota di Indonesia. Saat ini kita bisa melihat bahwa hampir semua kota di Indonesia memiliki kawasan yang disebut pecinan yang asal-usulnya merupakan tempat tinggal masyarakat Tionghoa. 

Secara umum, inti perkembangan kota di Indonesia ada dua. Pertama, pusat kedudukan kepala pemerintahan. Tempat kedudukan para bupati biasanya akan berkembang menjadi ibu kota kabupaten. Kedua, kawasan perdagangan yang identik dengan pecinan. Hampir semua kota di Indonesia memiliki kawasan pecinan. Kawasan itu biasanya berfungsi ganda. Selain sebagai tempat tinggal masyarakat Tionghoa, juga sebagai tempat untuk berdagang. 

Kedatangan orang-orang Tionghoa di Indonesia terjadi dalam beberapa gelombang. Gelombang pertama terjadi bersamaan dengan arus perdagangan global sekitar abad ke-10 sampai abad ke-16. 

Pada periode tersebut, para pedagang dari Tiongkok sudah hilir mudik ke kawasan Nusantara dengan membawa berbagai komoditas perdagangan dari negeri mereka. Berbagai komoditas mereka bawa.  Setelah barang dagangan habis, mereka akan kembali ke daratan Tiongkok dengan membawa barang dagangan dari kota-kota pantai di Nusantara. 

Menurut W.P. Groeneveldt dalam tulisannya berjudul Notes on the Malay Archipelago and Malacca Compiled from Chinese Sources, banyak tempat di Nusantara yang dikunjungi para pedagang dari Tiongkok telah dicatat oleh mereka. Catatan tersebut menjadi bukti otentik mengenai perdagangan global yang dijalankan mereka, serta menjadi bukti bahwa kota-kota pantai di Nusantara sudah menjadi bagian dari jaringan perdagangan global jauh sebelum kedatangan orang-orang Barat. 

Banyak pedagang dari daratan Tiongkok yang kemudian enggan pulang ke negeri asal mereka. Dengan alasan tertentu, mereka memilih tinggal di kota-kota pantai di Nusantara, kawin dan beranak-pinak sambil berdagang. 

Mereka membaur dengan penduduk setempat sehingga kebudayaan mereka pun bercampur dengan kebudayaan setempat, melahirkan kebudayaan campuran yang khas dan unik. Pecinan di kota-kota tua di Indonesia terbentuk pada kedatangan gelombang pertama. Bisa disebutkan, misalnya, di Lasem, Surabaya, Tuban, dan Semarang.

Gelombang kedua terjadi bersamaan dengan kedatangan orang-orang Belanda pada periode paling awal. Mereka adalah para pedagang yang tergabung dalam usaha dagang yang bernama Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC). 

Saat mulai membangun Kota Batavia pada 1619, Gubernur Jenderal VOC Jan Pietersz Coen mendatangkan banyak orang Tiongkok untuk membangun infrastruktur kota. Saat kota mulai ramai, mereka diberi tempat untuk berdagang serta berbagai bisnis yang lain. 

Menurut sejarawan Belanda Hendrik E. Niemeijer dalam bukunya, Batavia: Masyarakat Kolonial Abad XVII, salah satu tugas yang diemban orang-orang Tionghoa adalah menjaga kota dari serangan musuh. Selain itu, mereka merupakan pedagang andal yang menyediakan berbagai kebutuhan penduduk kota. 

Belanda memiliki cara tersendiri untuk mengontrol komunitas Tionghoa di berbagai kota. Secara sosial, mereka diposisikan sebagai kelompok tersendiri yang berbeda dengan masyarakat bumiputra. Untuk mengepalai mereka, diangkatlah seorang Kapitan Tionghoa yang bertugas mengontrol secara langsung masyarakat Tionghoa di sebuah kota. 

Kapitan Tionghoa pertama di Batavia berdasarkan buku yang ditulis oleh Mona Lohanda, The Kapitan Cina  of Batavia 1837-1942, adalah Souw Beng Kong. Ia diangkat menjadi kapitan pada 1916 oleh Jan Pietersz Coen. Tugas lain dari seorang kapitan adalah pemungut pajak yang harus disetorkan kepada VOC. 

Gelombang terakhir kedatangan orang-orang Tiongkok terjadi pada abad ke-19 sampai awal abad ke-20. Perubahan politik yang tidak menguntungkan di daratan Tiongkok menyebabkan banyak penduduk setempat mencari penghidupan yang lebih baik di Indonesia. 

Mereka menyebar ke berbagai kota di Indonesia. Jika pada gelombang pertama dan kedua mereka lebih banyak mendatangi kota-kota pantai, pada gelombang ketiga mereka sudah mulai masuk ke kota-kota di pedalaman. Saat ini kita melihat bahwa di hampir semua kota di Indonesia terdapat orang-orang Tionghoa. 

Keberadaan mereka di berbagai kota di Indonesia telah menjadi pendorong berkembangan kota tersebut. Hal tersebut tidak bisa dipisahkan dengan aktivitas mereka yang sebagian besar bergerak dalam sektor perdagangan. Mengacu pada pendapat Max Weber, kota adalah tempat pasar (the market place) atau permukiman pasar (the market settlement), dengan demikian, dinamika kota-kota di Indonesia tidak bisa dipisahkan dengan keberadaan orang-orang Tionghoa yang menetap di kota itu yang sebagian besar adalah pedagang. 

Kategori :