6. Nahdlatul Ulama (NU) sebagai sebuah organisasi keagamaan kemasyarakatan (jam’iyah diniyah ijtima’iyah) telah memiliki cukup syarat untuk merumuskan fikih baru tersebut. NU selama ini dikenal memiliki prinsip pemahaman keagamaan yang dinamis dan kontekstual. NU sejak tahun 1992 melalui Munas Alim Ulama di Lampung telah memiliki sistem dan prosedur pengambilan hukum yang lengkap, termasuk manhaj istinbathi. Dengan demikian NU dalam merespons berbagai masalah tidak hanya menggunakan fikih qauli tetapi juga fikih manhaji.
فإن نهضة العلماء كجمعية دينية واجتماعية لديها شروطاً كافية في صناعة الفقه الجديد الملائم للحضارة الحديثة. وحتى الآن، يعرف نهضة العلماء أن لديها مبدأ الفكري الديني المروني، التطوري والمطابق بالسياق المعاصر. فمنذ سنة 1992، خلال الإجتماع الوطني لعلماء الجمعية المنعقد في مدينة لامفونغ، تمتلك نهضة العلماء "منهج الإستنباط" الكامل في إجابة القضايا المعاصرة الموجودة، من القولي والمنهجي، بمعنى أن عملية استنباط الأحكام في هذه الجمعية لا تعتمد على نقل النصوص الفقهية الموجودة في الكتب المعتبرة فحسب، بل شرع أيضا بالإجتهاد باستخدام المناهج المعتبرة عند علماء الأصول.
7. Selain itu, melalui Munas Alim Ulama tahun 2006 di Surabaya NU telah menetapkan karakteristik (khashâish) cara berpikir NU (fikrah nahdliyah), yaitu: Tawassuthiyah, Ishlâhiyah, Tathawwuriyah, Manhajiyah. Oleh karena itu, sudah pada maqamnya NU ikut aktif mengurai dan memberikan jawaban terhadap masalah-masalah global yang terjadi pada era peradaban modern dewasa ini.
إضافة الى ذلك، فإن نهضة العلماء من خلال الاجتماع الوطني لعلمائها المنعقد في مدينة سورابايا عام 2006 الماضي، قامتْ بتحديد خصائص منهج الفكر المسمى بـ "الفكرة النهضية" وهي: التوسّطية، والإصلاحية، والتطوّرية، والمنهجية. لذلك، من مقامها أن تشترك نهضة العلماء في تقديم الردود والحلول الفعّالة على عدّة المشاكل العالمية والإنسانية التي تحدث في عصر حضارتنا الحديثة.
Hadirin-Hadirat Yang Terhormat..
8. Dalam membangun peradaban, penting untuk dilandaskan pada kesadaran bahwa manusia adalah wakil Allah di bumi (khalifatullah fil ardh), yang diberi tugas (mandat) untuk mengelola dan membangun bumi serta peradabannya. Hal itu sesuai firman Allah: هُوَ أَنْشَأَكُمْ مِنَ الأرْضِ وَاسْتَعْمَرَكُمْ فِيهَا. Kalimat “wasta’marakum” menurut para mufassir diartikan sebagai: “kallafakum bi ‘imâratihâ”, yang artinya kamu bertanggungjawab untuk memakmurkan bumi.
9. Selain itu, harus pula dilandaskan pada dimensi Ketuhanan (rabbâniyyah, teosentris) dan juga dimensi kemanusiaan (insâniyyah, antroposentris). Oleh karenanya penting untuk memperhatikan hal berikut: pertama, menempatkan diri sebagai “wakil Allah” yang menjalankan penugasan dari pemberi mandat, yaitu Allah SWT, kedua, antar manusia sebagai sesama “wakil Allah” harus saling menguatkan satu sama lain (tasanud), bukan saling bermusuhan (ta’anud), karena pada hakekatnya yang memberi mandat adalah sama, yaitu Allah SWT, dan ketiga, antar manusia harus saling menjaga jangan sampai terjadi kegaduhan, karena manusia ini berada di satu bumi yang sama (fii ardhin wahidin), sehingga jika terjadi kegaduhan di satu tempat akan berpengaruh pada manusia di tempat lainnya. Setiap potensi kegaduhan (atau kerusuhan) harus dicegah bersama dengan cara apapun.
10. Sejarah telah mencatat bahwa umat Islam pernah menorehkan tinta emas dalam pembangunan peradaban. Namun hal itu kemudian mengalami era kemunduran. Saat ini, dunia sudah masuk pada babak baru peradaban, terutama karena globalisasi yang tidak terbendung. Oleh karena itu, para ulama dituntut mampu menjawab dinamika peradaban baru ini, yang di banyak sisi sangat berbeda dengan peradaban sebelumnya. Ketentuan dalam fikih yang merupakan respons terhadap peradaban sebelumnya, bisa jadi tidak cocok lagi untuk merespons peradaban saat ini, sehingga dibutuhkan konstruksi fikih baru yang lebih sesuai dengan peradaban saat ini.
11. Dalam upaya pembangunan peradaban, peran ilmu pengetahuan (sains) sangat penting, dan bahkan ia berfungsi sebagai kunci peradaban (مفتاح العمارة). Tidak benar anggapan bahwa ilmu pengetahuan merupakan penyebab terjadinya kerusakan dan kekacauan di muka bumi ini. Sumber kerusakan dan kekacauan di muka bumi ini adalah nafsu serakah manusia yang menyalahgunakan ilmu pengetahuan, sebagaimana firman Allah:
وَلَوِ ٱتَّبَعَ ٱلْحَقُّ أَهْوَآءَهُمْ لَفَسَدَتِ ٱلسَّمَٰوَٰتُ وَٱلْأَرْضُ وَمَن فِيهِنَّ ۚ