DALAM ajaran Islam, sebaik-baiknya manusia ialah mereka yang memberikan manfaat sebesar-sebesarnya kepada sebanyak-banyaknya manusia. "Khoirunnaas anfa'uhum linnaas." Demikian Kanjeng Nabi menyabdakan dalam hadis yang diriwayatkan Ahmad.
Berarti, kebermanfaatan tidak mempunyai sekat-sekat SARA. Sebab, sebagaimana dinyatakan Sayyidina Ali, "Mereka yang bukan saudaramu dalam iman, adalah saudaramu dalam kemanusiaan."
Apalagi seorang pemimpin: sudah seyogianya menjadi pengayom bagi siapapun. Alias, seperti dipesankan Mao Zedong, wajib siap "为人民服务" (wèi rén mín fú wù): melayani rakyat dalam kondisi apa pun. Tak ada perkecualian barang sedikitpun.
BACA JUGA:Cheng Yu Pilihan CEO PT Doran Sukses Indonesia Jhonny Thio Doran: Bo Bie Qian Li
Itulah yang juga dijadikan pedoman oleh Mayjen TNI Farid Makruf MA. Menurut Pangdam V/Brawijaya tersebut, "Menjadi pemimpin berarti harus bermanfaat untuk orang banyak." Atau, kalau menggunakan pepatah dalam novel klasik Shuihu zhuan (水浒传), mesti "保国安民" (bǎo guó ān mín): melindungi nusa dan memberikan rasa aman pada bangsa.
Untuk bisa begitu, falsafah Konfusianisme mengajarkan kita untuk selalu membina akhlakul karimah. Pasalnya, ditegaskan kitab historis Guliang Zhuan (穀梁傳), "德厚流光" (dé hòu liú guāng): hanya yang tinggi budi pekertinya, yang akan jauh dan besar pengaruhnya. Sebaliknya, "yang rendah budi pekertinya, akan tidak membawa manfaat apa-apa" (德薄者流卑 dé báo zhě liú bēi).
Bagaimana cara mengasah akhlak agar tetap di jalan yang lurus? Dalam kitab Lunyu (论语), filsuf agung Konfusius mengajarkan kita, "见善如不及,见不善如探汤" (jiàn shàn rú bù jí, jiàn bù shàn rú tàn tāng). Yang artinya: jika bertemu dengan kebaikan, kejarlah seakan-akan engkau tak akan kebagian; jika bertemu dengan keburukan, empaskanlah seakan-akan tanganmu menyentuh benda panas membara. (*)