KETIDAKPASTIAN ekonomi tahun ini membuat banyak masyarakat memburu investasi pendapatan tetap. Salah satunya, surat berharga negara (SBN) ritel. Itu bisa dilihat dari seri savings bond ritel (SBR) 012 yang ditawarkan pemerintah. Pemesanannya mengalami kelebihan (oversubscribe) 2,2 kali, yaitu Rp 22,1 triliun, dari target Rp 10 triliun.
Tak hanya dari sisi nilai pemesanan, dari sisi pemesan (investor) juga luar biasa. Jumlahnya mencapai 62.375 investor untuk seri SBR 012-T2 (tenor dua tahun) dan SBR 012-T4 non-tradeable. Yang menarik, 27.795 adalah investor baru atau mencapai sekitar 40 persen.
Surat utang negara memang sangat diminati investor. Itu bisa dilihat dari data di Bursa Efek Indonesia (BEI). Per Januari lalu, terdapat 173 seri SBN berupa obligasi dan sukuk di BEI. Outstanding utang pemerintah itu mencapai Rp 5.027,67 triliun. Jauh lebih tinggi jika dibandingkan dengan outstanding obligasi dan sukuk korporasi yang mencapai 515 emisi dengan nilai Rp 461,37 triliun.
SBR 012 memang cukup menarik bagi investor. Seri SBN itu menawarkan kupon mengambang dengan bunga minimal 6,15 persen untuk tenor 2 tahun dan 6,35 persen untuk tenor 4 tahun. Tawaran kupon itu lebih tinggi daripada kupon SBR 011 saat ditawarkan pemerintah kali pertama tahun lalu.
SBR 012 menawarkan kupon floating with floor alias mengambang dengan spread tetap 0,65 persen untuk tenor 2 tahun dan 0,85 persen untuk tenor 4 tahun. Tingkat kupon minimum yang berlaku adalah bunga acuan BI. Dengan tingkat bunga acuan saat penetapan SBR 012 sebesar 5,5 persen, kupon dalam tiga bulan ke depan adalah 6,15 persen untuk tenor 2 tahun dan 6,35 persen untuk tenor 4 tahun.
Dengan model mengambang, masih ada ruang untuk memperoleh kupon lebih tinggi. Sebab, Bank Indonesia akhir Januari lalu sudah menaikkan bunga 7-days repo rate ke angka 5,75 persen. Bisa jadi, BI masih akan menaikkan lagi hingga mencapai 6 persen.
SBN itu menarik karena tingkat imbal hasil tersebut dinilai cukup kompetitif bila dibandingkan dengan investasi lainnya, terutama deposito. Saat ini bunga deposito 3–4 persen. Dengan begitu, pemegang SBR 012 menikmati return hampir dua kali lebih besar daripada deposito.
Permintaan yang tinggi terhadap SBR 012 itu tak lepas dari kupon mengambangnya. Karena itu, meski tren suku bunga justru naik, obligasi masih diburu. Dengan kupon mengambang yang dihitung dari bunga acuan ditambah spread 0,65 persen (T2) dan 0,85 persen (T4), pemegang SBR itu juga menikmati kenaikan tingkat bunga acuan.
Secara teoretis, permintaan terhadap obligasi berbanding terbalik dengan tingkat bunga. Jika tingkat bunga naik, harga obligasi yang tradable akan turun. Begitu pun sebaliknya. Saat tren bunga naik, ada potensi bunga deposito akan naik. Sementara itu, pemegang obligasi hanya akan menerima kupon yang tetap sampai jatuh tempo. Karena itu, saat ini, ketika tren tingkat bunga masih naik, seharusnya permintaan terhadap obligasi menurun.
Selain itu, sebagai surat utang negara, SBR 012 yang memberikan imbal hasil cukup tinggi juga dinilai sangat aman. Sebab, SBR 012 dikeluarkan negara yang potensi gagal bayarnya sangat rendah. Di tengah ketidakpastian ekonomi yang tinggi, surat berharga milik pemerintah dianggap sebagai investasi paling aman.
Penerbitan SBN ritel itu sangat menarik. Pertama, itu meningkatkan literasi keuangan dan investasi pada masyarakat. Banyaknya investor yang memesan SBR 012 menunjukkan hal itu. Kedua, masyarakat memiliki alternatif investasi yang menjanjikan dengan risiko yang rendah. Ketiga, bagi pemerintah, utang kepada masyarakat menjadikan tidak terdikte oleh kreditor layaknya pinjaman dari negara donor.
Sebagai obligasi ritel, SBR 012 dapat dipesan mulai Rp 1 juta hingga Rp 5 miliar. Hasilnya cukup menarik. Jika Anda membeli SBR 012 sebesar Rp 10 juta untuk tenor dua tahun, hasil investasi yang akan diperoleh adalah 6,15 persen atau Rp 615 ribu per tahun. Sedangkan untuk SBR 012 tenor 4 tahun, hasil investasinya adalah Rp 635 ribu per tahun.
Dengan pajak 10 persen, hasil bersih SBR 012 sebesar Rp 10 juta adalah Rp 553 ribu per tahun atau Rp 1.106.000 hingga jatuh tempo. Sementara itu, imbal hasil SBR 012 tenor 4 tahun untuk penempatan Rp 10 juta adalah Rp 571 ribu per tahun atau Rp 2.286.000 hingga jatuh tempo. Hasil itu jauh lebih tinggi daripada deposito yang sekitar 3 persen per tahun dengan pajak sebesar 20 persen.
Dibandingkan dengan investasi aman lainnya, obligasi negara itu memang tampak jauh lebih menjanjikan. Bandingkan dengan safe heaven lain seperti emas. Harga emas dalam beberapa tahun ini sangat fluktuatif. Kemarin emas diperdagangkan di harga USD 1.860 per troy ounce. Harga properti lebih fluktuatif lagi. Saat ini cukup lesu. Harga apartemen, misalnya, terus menurun signifikan. Itu pun tidak likuid sehingga tidak menjadi pilihan investasi di tengah tingginya ketidakpastian ekonomi global seperti saat ini. (*)