JAKARTA, HARIAN DISWAY - POLEMIK terkait transaksi mencurigakan di Kementerian Keuangan senilai Rp 300 triliun masih membingungkan. Makin runyam karena nilainya ternyata lebih besar, Rp 349,84 triliun. Komisi III DPR akhirnya memanggil Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Ivan Yustiavandana, Selasa, 21 Maret 2023.
Dalam rapat itu, Ivan membeberkan bahwa nominal itu tidak sepenuhnya berkaitan dengan tindak pidana pencucian uang (TPPU). "Tapi ini terkait tugas pokok dan fungsi Kementerian Keuangan sebagai penyidik tindak pidana asal," jelas Ivan dikutip YouTube DPR, kemarin. Dari awal, PPATK membeber data itu sebagai hasil analisis dan pemeriksaan dalam kurun waktu 10 tahun terakhir.
Namun, data itu bukan berarti ada kejahatan di Kementerian Keuangan. Melainkan Kementerian Keuangan dalam posisi sebagai penyidik tindak pidana asal sesuai Pasal 74 Undang-undang Nomor 8 Tahun 2010. Yang pelaksananya adalah direktorat jenderal bea dan cukai dan direktorat jenderal pajak.
"Ada pencucian uang, kami tidak pernah satu kalipun menyatakan tidak ada pencucian uang," ujar Ivan. Paling banyak, terkait kasus impor dan ekspor hingga perpajakan. Dalam satu kasus nilainya bisa mencapai Rp 40 triliun sampai Rp 100 triliun.
BACA JUGA:Penjelasan Rp 300 T yang Malah Tidak Jelas
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, transaksi mencurigakan senilai Rp 349,84 itu berasal dari 300 surat PPATK yang dikirimkan ke Kementerian Keuangan. Terhitung sejak 2009 hingga 2023. Rinciannya, sebanyak 65 surat berisi transaksi keuangan senilai Rp 253 triliun. Baik dari perusahaan atau perorangan yang tidak bersinggungan dengan pegawai Kementerian Keuangan.
Kemudian, 99 surat lainnya dikirim PPATK kepada aparat penegak hukum dengan nilai transaksi Rp 74 triliun. Lalu, 136 surat dari PPATK menyangkut pegawai Kemenkeu.
Surat yang paling menonjol bernomor 205/TR.01.2020 yang dikirimkan pada 19 Mei 2020. Dalam surat ini tercatat transaksi mencurigakan sebesar Rp 189,273 triliun. Terdapat 15 pihak, baik individu dan entitas perusahaan, yang tersangkut dengan transaksi mulai 2017 hingga 2019.
Sri Mulyani pun langsung menindaklanjuti dengan meneliti dan menyelidiki surat tersebut ke Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC). Hasilnya, ditemukan bahwa 15 pihak tersebut telah melakukan kegiatan ekspor-impor emas batangan dan perhiasan. Serta kegiatan money changer dan kegiatan lainnya.
Nilai impornya mencapai Rp 326 miliar pada 2017. Kemudian naik menjadi Rp 8 triliun pada 2018 dan turun drastis ke Rp 5,6 triliun pada 2019. Sementara untuk ekspornya senilai Rp 4,7 triliun pada 2017, turun menjadi Rp 3,5 triliun pada 2018, dan Rp 3,6 triliun pada 2019. (*)