Thrifting yang dipahami masyarakat Indonesia sangat berbeda dengan yang dipahami dari daerah asalnya. Di Eropa dan Amerika Serikat, perdagangan barang-barang bekas utamanya pakaian sangat berbeda. Di sana, seluruh pakaian yang dijual memang asli dari koleksi pribadi alias kolpri istilah bekennya. Sekalipun bukan milik si penjual sendiri, sumbernya bisa dari keluarga, komunitas, dan lain-lain. Hampir tidak ada barang-barang bekas yang diimpor dari negara lain. Mungkin karena kita yang mengimpor barang bekas dari sana kali, ya?
Ironisnya, thrifting yang semula dilakukan untuk mengurangi limbah tekstil imbas industri fast fashion dengan membeli, merawat, serta menggunakan pakaian bekas justru menjadi ladang impor limbah tekstil dari negara lain. Katanya buat mengurangi limbah, kok malah impor limbah?
Kegiatan thrifting itu tidak masalah, asalkan sumbernya jelas dari koleksi pribadi yang masih bagus. Sumber dari orang-orang atau komunitas yang sudah tidak membutuhkan barang bekas mereka untuk ditujukan pada orang lain yang sekiranya membutuhkan. Kalau begini kan baru cocok dengan makna kata thrift yang tepat, mengurangi limbah tekstil, sangat sustainable.
Tapi tidak menampik fakta baju bekas impor secara desain memang unik dan lucu-lucu, sih. Belum lagi pelaku usaha baju bekas impor rata-rata rakyat kecil yang membutuhkan sokongan finansial demi menghidupi keluarga. Kalau benar-benar ditiadakan juga kasihan rakyat kecil, kalau diadakan dan tidak diregulasi bisa kacau. Yah, begitulah ironi thrifting.
Radinka Daynara adalah Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Terbuka, dan penikmat buku alternatif.