Maka, motif bisa dijadikan sebagai salah satu instrumen untuk membuktikan pembunuhan berencana telah terjadi.
Namun, Masrukin tidak bersikeras. Tepatnya, tidak tegas bahwa motif harus bisa dibuktikan. Buktinya, ia juga sepakat dengan jaksa penuntut umum (JPU) yang tidak mencantumkan motif. Yang dibuktikan JPU adalah ”dengan sengaja” dan unsur ”perencanaan”.
Pendapat sebaliknya pada sidang waktu itu dikemukakan Prof Eddy O.S. Hiariej, guru besar hukum pidana Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta (kini Wakil Menkum HAM). Menurutnya, penerapan Pasal 340 KUHP tidak perlu motif.
Eddy mengulik sejarah lahirnya KUHP yang diadopsi dari hukum Belanda, khususnya Pasal 340. Eddy mengutip pandangan Jan Remmelink, guru besar hukum dan mantan jaksa agung Belanda.
Jan Remmelink, menurut Eddy, justru menjauhkan motif dari perumusan delik. Artinya, tidak perlu sama sekali.
Ada tiga hal penting dalam pembunuhan berencana (Pasal 340 KUHP).
Pelaku, ketika memutuskan kehendak untuk melakukan, dalam keadaan tenang.
Ada tenggang waktu yang cukup antara memutuskan kehendak dan melaksanakan perbuatan.
Ketika pelaksanaan perbuatan dilakukan, pelaku dalam keadaan tenang.
Tiga syarat tersebut bersifat kumulatif. Juga, memiliki keterkaitan yang erat antara satu dengan lainnya.
Eddy: ”Kalau ada ahli pidana yang mengatakan pembunuhan berencana harus ada motif, suruh baca ulang sejarah pembentukan KUHP Belanda.”
Pro-kontra motif terulang pada sidang Sambo tingkat pertama di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Ketika hakim menghadirkan saksi ahli waktu itu.
Pada sidang Kamis, 22 Desember 2022, dihadirkan saksi ahli Mahrus Ali, dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta. Menurutnya, motif Sambo membunuh Yosua harus bisa dibuktikan JPU.
Mahrus: ”Motif mutlak diperlukan guna mengetahui apakah pelaku pada saat memutuskan kehendak (membunuh) dalam keadaan tenang ataukah tidak? Jika pelaku pada saat memutuskan kehendak tidak dalam keadaan tenang, unsur perencanaan tidak terbukti.”
Kalau unsur perencanaan tidak terbukti, pembunuhan itu tanpa rencana. Melanggar Pasal 338 KUHP. Bukan Pasal 340 KUHP. Beda hukuman antara kedua pasal itu sangat jauh. Pasal 340 KUHP maksimal hukuman mati (sudah diterapkan pada terpidana Sambo).
Beda pendapat itu bukan dikatakan orang sembarangan. Bukan kaleng-kaleng. Melainkan, saksi ahli. Hakim menghadirkan saksi ahli tentu sudah melalui pertimbangan matang.