Dampak Kebakaran Depo Plumpang, Salah Siapa dan Harus Bagaimana?

Rabu 26-04-2023,14:23 WIB
Oleh: Teguh Riyanto *)

Di tengah ingar bingar penetapan Calon Presiden dan Wakil Presiden akhir-akhir ini, kiranya kita masih perlu menyimak juga bahwa beberapa minggu yang lalu PT. Pertamina, mengalami beberapa musibah di instalasi dan fasilitasnya. Insiden paling fatal pada tahun ini yaitu terbakarnya Depo Plumpang yang menghanguskan sebagian kampung sekitarnya dan data terakhir menyebutkan korban meninggal sampai 29 orang. 

Setelah itu ada kebakaran kapal tangki BBM dan kemudian meledak nya fasilitas pertamina di Dumai baru baru ini. Bahkan beberapa waktu belum lama ini juga sudah terjadi beberapa kecelakaan di beberapa fasilitas Pertamina lainnya. Kejadian kecelakaan yang berturut-turut ini  sebenarnya cukup mengejutkan untuk suatu perusahaan minyak. 

Pada saat saya bekerja dibidang industri petrokimia, safety standard perusahaan minyak adalah panutan, sebagai standar yang harus bisa disamai. Di Indonesia ya tentunya Pertamina. Artinya memang safety standard oil and gas company adalah yang paling top. Tetapi kok ini terjadi kecelakaan yang beruntun?

Terakhir di infokan bahwa adanya karat di beberapa tempat di fasilitas Pertamina di Dumai yang menjadi salah satu sebab meledaknya fasilitas tersebut. Yang saya tahu untuk fasilitas pabrik atau instalasi Petrokimia dan Perminyakan akan selalu dilakukan pemeriksaan rutin, salah satu istilahnya dilakukan Turn Around (TA) yaitu pemeriksaan rutin menyeluruh dan detail secara periodik, biasanya setelah sekian ribu jam beroperasi, sesuai dengan life time peralatannya agar berfungsi dengan baik. 

Termasuk diantaranya menghindari adanya karat. Disamping itu para operator fasilitas tersebut dalam Standard Operation Procedure (SOP) nya akan selalu memonitor peralatan, terutama yang vital secara rutin. Sehingga kalau sampai ada instalasi yang berkarat yang sampai menyebabkan meledaknya suatu instalasi, maka perlu dilakukan kaji ulang secara menyeluruh kebijakan TA dan SOP nya, dan ini sudah menyangkut level management, bukan pada level operator saja. Untuk itu dahulu biasanya kalau ada kecelakaan atau insiden di fasilitas PT. Pertamina akan ada pergantian bahkan pada level direksi dan komisarisnya.

Dari serangkaian insiden yang terjadi di fasilitas PT. Pertamina akhir-akhir ini, tentunya kebakaran di Depo Plumpang adalah yang paling fatal. Kecelakaan yang sampai menyebabkan hilangnya nyawa 29 orang bukanlah peristiwa sepele. Sayangnya pembahasan selanjutnya malah ada yang membelokkan ke ranah politik yang berakibat pembicaraannya menjadi saling menyalahkan demi saling menjelekkan lawan politiknya, tanpa pendalaman masalah yang memadai dan solusi yang konstruktif. 

Lalu bagaimana kita harus menyikapinya?

Depo PT. Pertamina di Plumpang merupakan fasilitas yang mengandung bahaya tingkat tinggi, sehingga tentunya ada persyaratan-persyaratan khusus untuk lokasi nya, di antaranya tentunya yang sangat penting adalah tentang jarak dengan pemukiman. Syarat jarak dengan pemukiman seharusnya tergantung tingkat bahaya fasilitas tersebut. 

Peraturan Pemerintah yang mengatur mengenai jarak fasilitas industri atau usaha diantaranya ada di Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No 5 tahun 2021 tentang Pedoman Penetapan Zonasi Kawasan Industri yang menyebutkan bahwa jarak antara Kawasan Industri dengan pemukiman adalh 500 meter, tetapi juga disebutkan bahwa ketentuan jarak tersebut bisa lebih jauh atau lebih dekat tergantung jenis industrinya. 

Peraturan Pemerintah no 41 th 1999, juga mengatur mengenai jarak antara pemukiman dengan kegiatan usaha bidang tenaga listrik, minyak dan gas bumi dan pertambangan mineral diatur jaraknya dengan pemukiman antara 300 m- 500 m, tergantung jenis usahanya. Seharusnya apabila diikuti Peraturan Pemerintah dan Peraturan Menteri diatas, maka korban jiwa yang begitu banyak dalam musibah kebakaran di Depo Plumpang tidak akan terjadi karena akan ada jarak yang cukup sehingga pemukiman akan terhindar dari dampak yang fatal akibat kebakaran. 

Lalu mengapa bisa terjadi masyarakat bisa membangun pemukiman begitu dekat, bahkan menempel di kompleks Depo Plumpang?.

Menurut sejarahnya, Depo Plumpang mulai tersedia lahannya pada tahun 1971 dan mulai beroperasi pada tahun 1974. Pada awalnya lokasi tersebut masih berupa rawa-rawa sekitar 153 ha. Depo Pertamina sendiri memanfaatkan sekitar 72 Ha, artinya masih ada sekitar 81 Ha lahan kosong. Dengan berjalannya waktu lahan kosong tersebut diserbu pemukiman warga sehingga padat sampai menempel di pagar Depo Pertamina tersebut. 

Di sini terlihat di mana "kesalahan" PT. Pertamina pada saat itu. Seharusnya sejak awal berdirinya, pagar fasilitas Depo dibuat 2 lapis, yaitu pagar kompleks Depo dan pagar lapis kedua untuk membatasi wilayah aman/ buffer zone. Pagar pembatas buffer zone tersebut harus benar-benar dijaga dan dipelihara sehingga tidak boleh dibangun apapun atau dimanfaatkan oleh manusia. 

Mungkin pada tahun tersebut, Peraturan Pemerintah dan Peraturan Menteri diatas belum ada, tetapi safety regulation fasilitas seperti Depo Pertamina tersebut tentu sudah ada dan itu berlaku universal, yang menyebutkan jarak-jarak tertentu yang akan terkena dampak apabila terjadi kecelakaan, dan itu seharusnya dilaksanakan.

Masalah seperti ini juga terjadi di beberapa lokasi kawasan industri, baik di Jawa, Sumatra dan Kalimantan, dimana pada awalnya dibangun di lokasi yang remote, tetapi kemudian diserbu oleh pemukiman penduduk. Kendala penyediaan buffer zone yang memadai selalu dikaitkan dengan anggaran, karena harus menyediakan dana yang cukup besar untuk investasi lahan yang harus dibiarkan kosong dan pagar pengaman serta biaya pengamanan rutin yang cukup besar. 

Kategori :