Review Film Sewu Dino: Horor Folk Asyik yang Penuh Intrik

Minggu 30-04-2023,17:01 WIB
Reporter : Maulidah
Editor : Retna Christa

DALAM Sewu Dino, SimpleMan kembali bekerja sama dengan MD Pictures. Ia menulis naskah bersama Agasyah Karim dan Khalid Kashogi. Sedangkan sutradaranya adalah spesialis film horor Kimo Stamboel. Tak perlu diragukan lagi. Horor dan efek gore garapan Kimo Stamboel tentunya tidak kaleng-kaleng.

Sewu Dino digarap dengan ciri khas Kimo Stamboel. Beberapa adegan menegangkan mengingatkan kita pada film Jailangkung: Sandekala dan Ivanna. Ia selalu memasukan unsur dogfight, dan tak pernah gagal membuat jantung penonton berdegup kencang. Penggunaan senjata tajam dimaksimalkan demi menghasilkan kesan sadis yang kuat.

Film yang berlatar belakang di Pulau Jawa ini tentunya menggunakan dialog bahasa Jawa. Khususnya Jawa Timuran. Para pemain berbicara dengan cukup fasih. Meskipun ada beberapa kalimat yang pelafalannya kurang tepat.

Banyak yang bilang, sebagai sesama karya SimpleMan, Sewu Dino lebih menyeramkan dibanding KKN di Desa Penari. Dan saya harus setuju dengan itu. Alur ceritanya susah ditebak, memaksa penonton untuk terus berpikir. Hanya untuk diberi twist mengejutkan di bagian akhir. Bikin keki, tapi sekaligus memuaskan.

Angkat Kearifan Lokal

Sewu Dino mengangkat sihir lokal yang—percaya enggak percaya—telah menjadi budaya dan mengakar kuat di masyarakat. Yakni santet. Tokoh utamanya bernama Sri (Mikha Tambayong). Dia digambarkan sebagai perempuan tangguh dan berani mengambil risiko.

Sri ditawari bekerja menjaga dan memandikan perempuan yang terkena santet Sewu Dino. Yakni santet selama seribu hari. Tawaran tersebut dia terima lantaran memang sedang membutuhkan uang. Dia menjalani pekerjaan tersebut bersama dua teman, Dini (Agra Artalidia) dan Erna (Givina Lukita). Mereka berjanji bekerja dengan baik kepada tetua desa, Karsa Atmojo (Karina Suwandi).


TERIKAT JANJI, dari kiri, Sri (Mikha Tambayong), Dini (Agra Artalidia), dan Erna (Givina Lukita) harus merawat korban santet dalam Sewu Dino. -MD Pictures-

Perjanjian tersebut membuat mereka harus melakukan ritual basuh seda selama seribu hari. Ritual tersebut dilakukan kepada Della (Gisellma Firmansyah), anak gadis keluarga Atmojo yang sukmanya tertahan. Jika Sri dan kedua temannya melanggar, kesengsaraan dan kematian akan menghampiri mereka.

Ketiganya tidak bisa lari dari tempat kerja karena sudah terikat janji berat dengan Karsa Atmojo. Meski berusaha kabur dari wilayah itu, usaha mereka tak berhasil. Sebab, hutan tempat mereka bekerja itu sudah dipagari secara gaib.

Setiap scene dalam Sewu Dino tidak ada yang membosankan. Bahkan semakin lama, suasananya menjadi lebih tegang dan penuh teka-teki. Banyak hal yang tak disangka bermunculan menguak fakta.

Namun, masih lebih banyak juga pertanyaan yang belum terjawab tuntas pada film Sewu Dino. Seperti, alasan keluarga Atmojo mengharuskan pekerjanya lahir pada Jumat Kliwon. Siapa Sabdo Kuncoro? Makhluk apa Sangarturih? Kenapa Della disantet? Siapa sosok dalam foto-foto yang di miliki Sabdo? Dan masih banyak lagi.

Para penulis sepertinya sudah memprediksi soal banyaknya pertanyaan yang berputar di kepala penonton. Maka, mereka berusaha ’’menjawabnya’’ dengan pernyataan Mbah Karsa. ’’Ketidaktahuan adalah anugerah dari korban.’’

Tak dijelaskan pula mengapa keluarga Atmojo membunuh keluarga Kuncoro. Padahal, setidaknya alasan mereka bisa di-spill lewat dialog antar karakter. Alhasil, saya merasa film ini mengandung banyak plot hole. Awalnya, saya curiga film ini sudah disiapkan sekuelnya. Namun, sepertinya Kimo Stamboel memang membuat para penonton kebingungan. Karena film ini sudah bagus tanpa perlu lanjutan.

Adaptasi Prima

Kimo Stamboel memang sutradara keren. Ia berhasil mengadaptasi cerita dari utas Twitter SimpleMan dengan sangat baik. Hal ini membuat saya, sebagai orang yang mengikuti utas tersebut, sangat lega. Karena sesuai dengan ekspektasi. Merinding dan rasa kesal pun terluapkan oleh adegan-adegan yang pas. Sesuai dengan perasaan saat membaca thread.

Filter warna yang digunakan juga sangat pas. Sesuai dengan scene. Artistik juga sangat menunjang. Terlebih lagi film ini berlatar belakang tahun 2003. Tim produksi benar-benar memperhatikan detail kecil. Seperti uang kertas pada zamannya, dan properti lainnya. Penampilan para talent juga sangat masuk dalam penceritaan Sewu Dino. Tata suara dalam film juga sangat renyah dengan backsound yang tepat.

Dari antusiasme penonton yang saya lihat di bioskop, Sewu Dino sangat ditunggu oleh masyarakat. Dari segi pengambilan gambar dan artistik, Sewu Dino tak kalah apik dengan film Kimo yang lain. Hanya saja penceritaannya yang kurang. Entah mau dilanjut atau bagaimana, namun seharusnya secara penceritaan tidak dianak tirikan. Cerita harus tuntas, walau ada yang masih meninggalkan tanda tanya. Sehingga penonton tidak bingung ketika meninggalkan bioskop.

Tapi secara keseluruhan, Sewu Dino cukup asyik buat pengisi libur hari raya. (*)

Kategori :