INDONESIA menghadapi persoalan serius minimnya penciptaan lapangan kerja. Ada kesenjangan yang tinggi antara tingginya investasi dan terciptanya lapangan kerja baru. Jika tidak segera diatasi, itu akan menjadi persoalan serius di masa depan. Investasi dan pertumbuhan ekonomi tinggi justru diikuti tingkat pengangguran yang tinggi pula.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, dalam sepuluh tahun terakhir, nilai investasi yang masuk ke Indonesia terus meningkat. Sebaliknya, penciptaan lapangan kerja yang dihasilkan masih minim. Bahkan, terus menurun.
Sebagai perbandingan, pada 2013, investasi Rp 1 triliun bisa menyerap 4.594 tenaga kerja. Namun, pada 2021, investasi dengan nilai yang sama hanya bisa menyerap 1.340 tenaga kerja. Angka itu menurun lagi tahun 2022 yang hanya bisa menyerap 1.081 orang dari investasi Rp 1 triliun.
Fakta tersebut membuat realisasi investasi tahunan yang sangat tinggi tidak mampu menurunkan tingkat pengangguran. Tahun 2021, investasi masuk mencapai Rp 901,2 triliun dan tahun 2022 naik 33 persen menjadi Rp 1.207,2 triliun. Tetapi, itu tak otomatis menyerap tenaga kerja yang signifikan untuk menurunkan tingkat pengangguran. Tingkat pengangguran terbuka (TPT) per Agustus 2022 mencapai 5,86 persen. Jika diperinci, ada 8,42 juta penganggur yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia.
Penyebab penyerapan tenaga kerja yang rendah itu, salah satunya, disebabkan masalah klasik kegagalan link and match atau tidak selarasnya pendidikan dengan dunia industri. Lulusan sekolah dan perguruan tinggi yang diharapkan siap masuk dunia kerja kerap tidak sesuai dengan kebutuhan industri. Sekolah dan perguruan tinggi tidak tahu apa yang dibutuhkan dunia industri. Pengusaha juga tidak memberikan masukan.
Karena itulah, penting sekali melakukan revitalisasi pendidikan, terutama pendidikan vokasi, agar lulusannya sesuai dengan kebutuhan industri. Mengapa pendidikan vokasi? Sebab, pendidikan vokasi tidak hanya menyiapkan SDM yang memiliki hard skill bidang sesuai kebutuhan industri, tapi juga mempunyai sebagian soft skill sarjana. Artinya, lulusan vokasi tidak hanya bisa mengoperasikan, tapi juga punya kemampuan analisis, formulasi, dan memecahkan masalah karena juga dibekali teori.
Dalam berbagai kesempatan, Presiden Joko Widodo sering menegaskan pentingnya pendidikan vokasi bagi Indonesia. Menurutnya, pendidikan vokasi sama pentingnya dengan pembangunan infrastruktur. Pendidikan vokasi mencetak sumber daya manusia yang unggul dan berkarakter serta mampu menghadapi industri, dunia usaha dan, dunia kerja (iduka). Saat ini dunia sudah berkembang pesat mengikuti perubahan teknologi. Jika SDM tidak dipersiapkan dengan baik, Indonesia bakal tertinggal dalam perubahan tersebut.
Pendidikan vokasi memang beda dengan pendidikan sarjana. Mereka diberi bekal teori dasar sekaligus mempraktikkannya. Lulusan vokasi diharapkan tidak hanya mengetahui teori, tapi juga berkompeten dan mampu menerapkan ilmunya pada bidang keahlian masing-masing. Itu bisa dilakukan karena para pengajarnya harus memiliki kompetensi dan sertifikasi profesi.
Pendidikan vokasi saat ini sangat diminati. Hal itu terlihat dari peningkatan jumlah pendaftar di perguruan tinggi vokasi, baik di politeknik maupun akademi vokasi. Menurut data Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) pada 2021, terdapat lebih dari 2 juta siswa yang mengikuti pendidikan vokasi di lebih dari 4.000 sekolah menengah kejuruan (SMK) di seluruh Indonesia.
Perguruan tinggi vokasi juga makin luas dan berkembang di Indonesia, dengan peningkatan jumlah perguruan tinggi vokasi dari sebelumnya 4.773 menjadi 4.810 pada 2021. Selain itu, pemerintah terus mendorong pengembangan perguruan tinggi vokasi dengan memberikan program-program pendanaan dan dukungan lainnya.
Pendidikan tinggi vokasi itu melengkapi pendidikan tinggi di Indonesia dalam menyiapkan lulusan yang siap diserap industri. Berdasar data statistik dari Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi tahun 2019, terdapat 4.261 perguruan tinggi di Indonesia. Jumlah mahasiswanya mencapai 8,3 juta. Mereka dididik 308.607 dosen.
Lulusan vokasi tentu siap kerja. Sebab, sekitar 70 persen dari program pembelajaran merupakan praktik di dunia industri. Dengan demikian, begitu lulus, mereka sudah siap bekerja di industri. Jika pendidikan vokasi maju, kesempatan anak bangsa untuk memasuki dunia kerja akan terbuka luas dan diharapkan mampu diperhitungkan menjadi tenaga ahli nasional maupun internasional.
Itu saja tentu tidak cukup. Pendidikan vokasi perlu cepat berbenah karena kebutuhan industri terhadap skill tenaga kerja juga berubah. Itu tak lepas dari kemajuan teknologi yang juga sangat cepat. Pendidikan vokasi harus mengetahui skill tenaga kerja yang dibutuhkan dunia industri dan dunia usaha yang cepat berubah. Karena itu, program link and match harus dijalankan secara lebih intens untuk mengikuti kebutuhan industri.
Dirjen Pendidikan Vokasi Kemendikbudristek harus mengupayakan penyusunan kurikulum bersama antara lembaga pendidikan dan industri. Itu dilakukan agar lulusan vokasi benar-benar sesuai dengan kebutuhan industri. Di sisi lain, industri juga harus mendukung proses pendidikan vokasi dengan menyiapkan tenaga pengajar.
Industri juga harus bisa menyediakan kesempatan magang bagi para pelajar dan mahasiswa vokasi minimal satu semester. Program magang itu –yang kini dikemas dalam Program Merdeka Belajar-Kampus Merdeka (MBKM) – harus disiapkan secara serius agar mahasiswa benar-benar memperoleh keterampilan dan pengalaman yang mendukung capaian pembelajaran lulusan (CPL) mahasiswa.