Perbedaan sumber legitimasi itulah yang membedakan standar etika politik yang berbeda pada tiga sistem pemerintahan itu. Dalam sistem monarki, seorang raja harus berbuat baik kepada rakyat untuk menjaga supaya pulung tetap bertahan di kerajaannya. Dalam sistem teokrasi, seorang pemimpin bertanggung jawab kepada Tuhan nanti di Hari Pengadilan. Dalam sistem demokrasi, seorang pemimpin bertanggung jawab langsung kepada rakyat melalui proses demokrasi berkala lima tahunan.
Etika demokrasi mengharuskan seorang pemimpin untuk bertanggung jawab langsung kepada rakyat, bukan kepada partai politik. Dalam sistem demokrasi, kedaulatan ada di tangan rakyat, bukan di tangan pemimpin parpol.
Dinamika politik di Indonesia beberapa waktu belakangan ini menunjukkan merosotnya etika politik yang dipamerkan oleh para elite. Muncul kecenderungan pelecehan terhadap kekuasaan atau abuse of power. Kekuasaan yang didapat dari rakyat dipakai untuk kepentingan politik pribadi atau kepentingan partai politiknya sendiri.
Sebagai presiden, Jokowi harus menjadi orang nomor satu dalam menjaga etika politik. Tertapi, yang terjadi tidaklah demikian. Meminjam narasi Jenderal Kunto, yang terjadi adalah ”tongkat membawa rebah”. Tongkat yang seharusnya menegakkan aturan malah merusak aturan.
Pantas saja Jenderal Kunto galau melihat kemerosotan etika itu. Pantas saja ia berpikir bahwa TNI harus melangkah ke depan untuk memastikan tegaknya etika politik pada kontestasi Pilpres 2024. (*)