HARIAN DISWAY - Kondisi tak adil tak cuma dialami ayah dan ibunya. Soe Tjen Marching juga menerima diskriminasi. Berlangsung ketika dia dan keluarganya pindah rumah. Dari daerah Darmo Kali ke Putro Agung.
Rumah yang ditempati keluarga Oei Lian Bing di kawasan Darmo Kali, sangat sempit. Satu rumah ditempati enam orang. Tidur pun harus berdesak-desakan. Meski ekonomi pas-pasan dan serba kekurangan, justru Soe Tjen, anak keempat Bing, merasa mendapat kebahagiaan di tempat itu.
"Di Darmo Kali itu, anak-anak dan masyarakat hidup rukun. Apa-apa selalu bareng. Kalau Idulfitri, merayakan bareng. Natalan pun juga dirayakan bareng-bareng. Tak ada batas ini-itu, agama ini, agama itu," ujarnya.
Saat di sana, dia masih kecil. Sejak dilahirkan hingga berusia tiga tahun. Ketika terjadi peristiwa 1 Oktober 1965, banyak warga Darmo Kali yang ditangkap. Mereka rata-rata simpatisan organisasi yang dianggap memberontak atau warga yang dituduh punya kedekatan dengan simpatisan-simpatisan itu. Maka, saat itu Darmo Kali dikenal sebagai Kampung Merah.
Salah satu warga Darmo Kali yang ditangkap adalah Oei Lian Bing. Ayah Soe Tjen. Ia dipenjarakan selama beberapa bulan hingga dibebaskan. "Jadi penahanan papa saya itu relatif cepat. Tidak tahu alasannya apa. Dulu kan seperti lotre begitu. Ambil kupon, mana yang bebas, mana yang dihabisi. Mungkin papa saya dapat giliran bebas," ungkapnya.
Di Darmo Kali itu pula Soe Tjen kecil memiliki banyak kawan. Dia kerap bermain bersama mereka. Hingga, ketika usianya 3 tahun, keluarga memutuskan untuk pindah rumah. Selain karena ukurannya sempit, Bing ingin menghilangkan jejak sebagai eks tapol. Pindah diam-diam, agar bebas dari pengawasan intel Orde Baru. Rezim yang berkuasa ketika itu.
Jalan Putro Agung merupakan kawasan pinggiran Surabaya utara. Sebuah pemukiman penduduk yang cukup padat. Berbeda dengan Darmo Kali yang letaknya relatif dekat dengan pusat Kota Surabaya. Tentu secara kultur pun berbeda.
Dengan berpindah rumah, Soe Tjen kecil pun kehilangan kawan-kawan akrabnya di Darmo Kali. Di tempat yang baru, dia mencoba beradaptasi. Anak-anak di lingkungan Putro Agung lebih banyak. Mereka kerap bermain bersama. Kumpulan anak-anak kecil itu menarik perhatian Soe Tjen. Dengan maksud dia ingin mendekat, berkenalan dan menjadi akrab.
Masa kecil Soe Tjen Marching, anak bungsu dari empat bersaudara yang paling vokal bicara tentang gerakan 1 Oktober 1965 ini dihabiskan di dua rumah yakni di Jalan Darmo Kali di Jalan Putro Agung. -Soe Tjen Marching-
Ketika melihat beberapa anak bermain di depan rumahnya, dia lantas menghambur keluar. Gadis kecil itu mulanya melihat-lihat apa yang mereka lakukan. Mengamati saja. Jika mendapat perhatian, Soe Tjen tersenyum. Tapi berbeda dengan perhatian yang diterimanya di kawasan Darmo Kali. Tatapan anak-anak itu sinis.
Satu dari mereka mendekat pada wajahnya. Kedua ujung bibir menekuk ke bawah. Tak ramah. Lantas berseru, "Cino!" "Cino!" "Singkek!"
Kawannya yang lain menyahut. Sama sekali tak bersahabat. "Pandangan mereka penuh kebencian terhadap saya. Itulah serapah yang saya terima pertama kali. Merasakan diskriminasi untuk pertama kali dalam hidup!," ujar Soe Tjen, geram.
Anak-anak Putro Agung itu sebenarnya tak tahu apa yang mereka ucapkan. Seperti kata Nelson Mandela, tokoh pejuang kesetaraan dari Afrika Selatan: No one is born hating another person because of the colour of his skin, or his background, or his religion. People must learn to hate, and if they can learn to hate, they can be taught to love, for love comes more naturally to the human heart than its opposite.
Maknanya, kebencian itu diajarkan. Begitu pun kebencian yang tumbuh pada anak-anak itu terhadap mereka yang berbeda warna kulit. Mereka diajarkan membenci, mungkin oleh orang tua mereka, lingkungan, atau propaganda-propaganda Orde Baru yang memang mendiskriminasi golongan Tionghoa.
Saat itu, Soe Tjen kecil tak mengerti arti kata Cino atau singkek. Dia bertanya dalam hati, apa yang membuat anak-anak itu begitu membenci dirinya? Lantas dia bertanya pada mamanya, Yuliani. Jawaban yang diterima justru membuatnya bertanya-tanya. "Mama saya bilang, artinya Cino, singkek, berarti kami sekeluarga berbeda dari mereka. Tapi beliau menganjurkan saya untuk diam saja. Tak usah melawan. Daripada terjadi apa-apa," katanya.
Di Putro Agung itu, Soe Tjen nyaris tak punya teman. Dia justru hidup terkungkung di dalam rumahnya. Hidup bersama orang tua dan ketiga kakaknya. Dengan merekalah dia banyak berinteraksi. Rasa keingintahuan yang tinggi, telah terbentuk sejak kecil. Rasa itu pula yang mengantarkan Soe Tjen menjadi aktivis pejuang kesetaraan hak.