SECARA UMUM, ada dua bentuk pemerintahan yang lazim di dunia. Yakni, pemerintahan republik dan pemerintahan monarki. Namun, ada bentuk ketiga, yaitu pemerintahan despotisme. Pemerintahan republik jelas bentuknya. Pemerintahan monarki jelas bentuknya. Pemerintahan despotik tidak terlihat kasat. Ia tersamar, tetapi nyata.
Pembagian tiga jenis pemerintahan itu dilakukan oleh pemikir Prancis, Montesquieu, yang lebih dikenal dengan teori trias politica. Montesquieu (1689–1755) yang melakukan studi mendalam terhadap korupsi di Eropa di abad ke-18 menemukan bahwa bentuk republik dan monarki rawan terhadap korupsi. Sebaliknya, bentuk negara despotisme malah ”aman” dari korupsi.
Dalam negara republik yang menerapkan demokrasi, ada mekanisme kontrol yang dilakukan secara timbal balik dalam bentuk checks and balances antara lembaga eksekutif dan legislatif. Eksekutif menjalankan kekuasaan negara dan mengelola resources negara dalam bentuk uang dan sumber daya alam. Lembaga legislatif mengontrol eksekutif melalui pembuatan serangkaian undang-undang yang membatasi kewenangan dan kekuasaan legislatif.
Dalam sistem demokrasi, ada lembaga ketiga, yaitu yudikatif, yang bertugas menerapkan mekanisme hukum untuk mengontrol lembaga eksekutif dan legislatif. Lembaga yudikatif mempunyai kekuasaan yudisial untuk menghukum pelanggar aturan yang dilakukan eksekutif dan legislatif.
Tradisi demokrasi Barat kemudian melengkapi sistem tiga pilar itu dengan pilar keempat, yaitu pers, yang sering disebut sebagai the fourth pillar of democracy (pilar keempat demokrasi). Pers memainkan peran pilar keempat dengan menjalankan fungsi kontrol sosial untuk menjaga supaya tiga pilar tetap berjalan pada jalurnya.
Korupsi di negara-negara republik masih banyak terjadi. Sebab, negara republik belum seluruhnya matang dalam berdemokrasi. Di negara dengan sistem republik yang demokrasinya lebih matang, korupsi masih sering terjadi dalam bentuk pelanggaran yang sistemis dan sistematis yang dilakukan secara halus dan terselubung.
Di negara monarki, korupsi banyak terjadi terutama ketika pemimpin monarki itu adalah seorang raja atau ratu dengan kekuasaan absolut atau mutlak. Negara semacam itu sudah tidak ada –atau jarang– di dunia, diganti pemerintahan monarki demokratis seperti di Inggris, Spanyol, Belanda, dan beberapa negara lain di Eropa. Jepang, Thailand, Malaysia, dan Brunei adalah negara-negara Asia yang juga menerapkan sistem monarki demokratis.
Kendati demikian, abuse of power dalam berbagai bentuk yang tersembunyi masih sering terjadi. Arab Saudi di bahwa Pangeran Muhammad bin Salman sekarang ini dituding banyak melakukan pelanggaran hak asasi manusia. Beberapa kasus korupsi di Malaysia melibatkan kepala pemerintahan tertinggi, yaitu perdana menteri. Di Thailand Raja Maha Vajiralongkorn –yang mempunyai gaya hidup mewah berlebihan– dianggap korup secara moral sehingga mengikis rasa hormat rakyat terhadapnya.
Bagaimana dengan negara despotisme? Inilah yang unik dari pemikiran Montesquieu. Menurutnya, negara despotis bebas dari korupsi karena despotisme itu sendiri adalah sistem yang korup. Karena despotisme adalah sistem korup, korupsi dianggap sebagai bagian inheren dari sistem itu. Dalam negara despotis, korupsi menjadi praktik umum yang meluas karena tidak ada sistem kontrol yang efektif dari mekanisme trias politica.
Dalam sistem negara despotis, korupsi dilakukan secara sistemis dan sistematis melibatkan elite-elite politik tertinggi, yang mendapat restu langsung maupun tidak langsung dari presiden sebagai pemimpin tertinggi negara dan pemerintahan. Siapa yang melakukan korupsi di luar sistem, mereka akan dihabisi, apalagi kalau mereka menjadi ancaman bagi kekuasaan.
Lembaga antikorupsi dibentuk, tetapi hanya menjadi aksesori supaya terlihat demokratis. Dalam praktiknya, lembaga antikorupsi itu dilemahkan sehingga menjadi mandul dan tidak berdaya atau malah dipakai sebagai alat untuk mengintimidasi dan memberangus lawan.
Di negara despotis, mekanisme demokrasi berjalan seperti biasa. Ada pemilihan umum yang dilakukan secara rutin, tetapi pelaksanaannya sudah diatur dengan rapi dan hasilnya bisa direkayasa dengan kekuatan politik uang. Kepala pemerintahan atau kepala negara menjadi pemain yang aktif dalam proses politik. Ketika terjadi suksesi, harus dipastikan bahwa pemimpin selanjutnya tetap akan melanjutkan sistem kekuasaan yang despotik.
Partai politik menjadi bagian dari kekuasaan despotik yang berkoalisi dengan kekuatan uang dan modal. Kekuatan despotik itu menjadi oligarki yang sangat kuat yang bisa menjamin kekuasaan despot bertahan lama.
Model despotis lama yang totaliter dan otoriter sudah tidak ada. Dulu ada Stalin di Uni Soviet, Idi Amin di Uganda, Pol Pot di Vietnam, dan Soeharto di Indonesia. Tapi, model despot kuno itu sekarang sudah tidak laku.
Yang muncul sekarang adalah despotisme bermetamorfosis menjadi ”despotisme baru” (new despotism). Despotisme dengan wajah baru itu banyak bermunculan di seluruh dunia dan seolah-olah menampakkan wajah kekuasaan yang ramah dan prorakyat atau wong cilik.