John Keane, profesor ilmu politik dari Harvard University, menyorot fenomena munculnya despotisme gaya baru ini dalam bukunya, The New Despotism (2020). Ia melihat gejala despotisme baru itu bermunculan di banyak negara dengan mempergunakan demokrasi sebagai kedok dan topeng.
Despotisme baru melahirkan pemimpin-pemimpin yang populis dan dicintai rakyat. Demokrasi prosedural berjalan seperti biasa, tetapi proses dan hasilnya sudah direkayasa secara sistematis. Despotisme baru muncul dengan memberikan kesejahteraan dan pertumbuhan ekonomi yang membuatnya mendapat legitimasi kuat dari rakyat.
Xi Jinping dari Tiongkok mempunyai legitimasi kuat karena memberikan kemakmuran dan pertumbuhan ekonomi yang meyakinkan. Dengan legitimasi itu, Jinping mudah untuk menjadi presiden sampai kapan pun.
Dalam kacamata Barat, Tayyip Recep Erdogan juga digambarkan sebagai jenis pemimpin despot baru. Di Rusia, Vladimir Putin menjadi sosok despot baru yang bisa menjadi presiden sampai 20 tahun ke depan. Putin dan Xi Jinping bisa menjadi presiden seumur hidup tanpa halangan yang berarti karena oposisi sudah dimatikan.
Apakah Indonesia punya potensi untuk jatuh dalam despotisme baru? Fenomena itu bisa saja terjadi. Despotisme baru tidak selalu mengejawentah dalam tokoh perorangan seperti Putin, Jinping, atau Joko Widodo di Indonesia.
Despotisme baru bisa berbentuk oligarki yang kemudian memilih seorang presiden sebagai pemimpin, lalu didandani menjadi populis dan dicintai rakyat. Sang presiden bukan petugas rakyat, melainkan petugas partai.
Semoga skenario itu tidak terjadi di Indonesia. Amin. (*)